Antara KPK, Kicauan ANR dan Korupsi Daerah

 

Proses pengadaan barang dan jasa itu layaknya sebuah bisnis. Dalam dunia bisnis ada adagium “tidak ada makan siang gratis”.

 

SELAMAT datang KPK di Kabupaten Paser, demikian salah satu komentar netizen ketika KPK berhasil mengungkap kasus gratifikasi yang melibatkan salah satu pejabat Balai Besar Pengelola Jalan Nasional (BBPJN) XII Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR dan seorang kontraktor proyek di Kabupaten Paser pada Kamis (23/11/2023).

Tentu publik di Kabupaten Paser tidak membayangkan jika KPK akhirnya bisa masuk ke kabupaten paling selatan di Provinsi Kalimantan Timur sejak lembaga anti rasuah berdiri dua puluh tahun silam.

Dan bisa jadi kasus ini menjadi pembuka jalan bagi KPK untuk menjajaki kasus – kasus serupa di kabupaten benua daya taka ini. Apalagi sinyal itu sudah dibuka oleh salah satu tersangka ANR usai KPK menggelar konfrensi pers sehari setelah penangkapan yang meminta aparat penegak hukum juga mengusut kasus pengadaan barang dan jasa di daerahnya.

Tersangka yang sudah malang melintang di dunia pengadaan barang dan jasa milik pemerintah tentu paham betul tentang lika liku proses bagaimana mendapatkan proyek pemerintah. Proses pengadaan barang dan jasa itu layaknya sebuah bisnis. Dalam dunia bisnis ada adagium “tidak ada makan siang gratis”.

Karena itulah dalam berbisnis dengan pemerintah melalui pengadaan barang jasa, tentu para penyedia jasa (kontraktor) akan berusaha agar mendapatkan proyek. Karena sulitnya menembus , berbagai upaya dilakukan dengan cara berkolusi dengan pejabat yang memiliki kewenangan. Kolusi itu kemudian disertai dengan janji atau biasa dikenal dengan penyediaan fee atas jasa mendapatkan proyek. Dan hampir semua di daerah hal ini mahfum terjadi. jika akhirnya terendus aparat atau tertangkap barang kali itu hanya “apes” saja.

Akibat Ongkos Politik Mahal

Dalam pengungkapan kasus gratifikasi yang kerap diungkap lembaga anti rasuah, selalu melibatkan pejabat daerah baik kepala daerah , pejabat perangkat daerah maupun legislatif dan tak jarang mereka berafiliasi dengan partai politik

Mahalnya ongkos menjadi kepala daerah maupun legislatif membuat mereka mencari jalan illegal untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.

Butuh milyaran rupiah untuk menjadi kepala daerah, karena itu ketika sudah terpilih ia akan berusaha agar ongkos politik itu bisa kembali. Caranya melalui tangan- tangan birokrasi seperti perangkat daerah.

Karena itu jangan heran ketika seorang kepala daerah terpilih, proyek -proyek akan dikuasai atau diatur orang-orangnya, bisa melalui tim suksesnya atau lingkaran terdekatnya atau partai politiknya. Tentu kembali kepada adagium “tidak ada makan siang gratis. (****)

Penulis : R. Wartono, Divisi Litbang Indonesia Police Watch

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar