Bantuan Kemanusiaan untuk Myanmar wujud Diplomasi Pancasila

 

Oleh : Dubes Darmansjah Djumala,
Dewan Pakar BPIP, Dubes Djumala:

 

SEBAGAI Ketua ASEAN, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk terus mengupayakan penyelesaian konflik Mynamar. Menlu Indonesia, Retno Marsudi menegaskan platform keketuaan Indonesia di ASEAN bertumpu pada implementasi Lima Poin Konsensus (five point of concensus) yang disepakati oleh pemimpin ASEAN pada 24 April 2021 lalu.

Salah satu poin konsensus itu adalah ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management). Sejalan dengan komitmen itu, Indonesia telah memfasilitasi komunikasi dan konsultasi dengan berbagai pihak yang bertikai di Myanmar.

Diungkapkan oleh Menlu Retno pada 5 April 2023, Indonesia telah memfasilitasi dibukanya kembali komunikasi dan konsultasi dengan berbagai stakeholders agar AHA Center dapat menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang memerlukannya, tanpa memandang latar belakang, suku, agama dan orientasi politik.

Dalam keterangan persnya, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeru, Dubes Darmansjah Djumala, menyatakan upaya Menlu Retno membuka komunikasi dan konsultasi dengan semua stakeholders di Myanmar itu merupakan langkah awal yang baik dan akan berdampak positif dalam upaya meretas jalan damai di Myanmar.

Dengan dimulainya komunikasi dengan semua pihak yang bertikai itu akan memberi kepastian bantuan kemanusiaan yang disalurkan akan sampai pada pihak yang membutuhkan, seperti para pengungsi yang terdampak konflik.

Dikatakan oleh Dubes Djumala, bantuan kemanusiaan adalah salah satu instrumen diplomasi (humanitarian diplomacy) yang diyakini dapat mengetuk nurani pihak-pihak yang bertikai dan saling bermusuhan. Dalam tataran taktis lapangan, salah satu prasyarat untuk memastikan bantuan kemanusiaan sampai kepada pihak yang membutuhkan diperlukan jeda kekerasan.

Pada saat penghentian kekerasan inilah terbuka kesempatan untuk dibangun komunikasi dan dialog di antara pihak yang bertikai.

Pada bagian lain Dubes Djumala menggarisbawahi beberapa inisiatif diplomasi Menlu Retno yang senafas dengan nilai Pancasila. Untuk membantu Myanmar keluar dari konflik, Menlu Retno menggunakan pendekatan “all inclusive dialog”, suatu mekanisme komunikasi dan konsultasi yang melibatkan semua pihak yang terkait dengan konflik.

Pelibatan semua stakeholders dalam penyaluran bantuan kemanusiaan dinilai senafas dengan nilai-nilai musyawarah dan gotong royong. Sejatinya inilah nilai Pancasila yang terkandung dalam tindakan diplomasi Indonesia.

Mendorong disalurkannya bantuan kemanusiaan untuk para korban konflik jelas mengandung nilai-nilai kemanusiaan, sila ke-2 Pancasila. Pilihan terhadap pendekatan kemanusiaan ini, dalam tataran politik-ideologis, adalah aktualisasi nyata dari ajaran Bung Karno, sosio-nasionalisme. Sebab, dalam menjalankan diplomasi dan politik luar negerinya Indonesia berpegang pada nasionalisme, yaitu membawa nama baik Indonesia dalam pergaulan internasional. “Namun, nasionalisme Indonesia harus diaktualisasikan dalam kesadaran internasionalisme, yaitu sosial-kemanusiaan.

Senafas dengan ini, inisiatif Indonesia menyalurkan bantuan kemanusiaan merupakan refleksi nilai Pancasila dan paham sosio-nasionalisme Bung Karno”, tutup Dubes Djumala.*** (gk)

Tinggalkan Komentar