BBM Naik, Pertahankan Kepercayaan Publik atau Melawan Pragmatis Kelompok Rasionalis?

Oleh : Muchtar Amar, SH*
PEMERINTAH saat ini dihadapkan pada keputusan ‘dilema’ yaitu mempertahankan kepercayaan publik atau melawan pragmatis kelompok rasionalis.
Tradisi kebijakan mempertahankan subsidi BBM seperti hal ‘sakral’ yang harus dipertahankan dan propagandanya mengikis pemikiran logis publik.
Subsidi BBM baik buat rakyat kecil, namun demikian jika subsidi barang itu lemah dalam hal distribusi dan pengawasannya, penyelewengan BBM subsidi justru tidak menyejahterakan publik, bahkan merugikan anggaran negara.
Memang di satu sisi, penyesuaian atau mencabut anggaran subsidi BBM, propaganda politiknya dianggap tidak pro rakyat alias menyengsarakan rakyat.
Ada juga yang berspekulasi, jangan-jangan pengalihan anggaran subsidi itu sebatas kepentingan ‘oligarki’ pemerintah untuk proyek yang tidak strategis, termasuk proyek IKN Nusantara di Penajam Paser Utara.
Penyesuaian subsidi BBM memiliki efek domino. Biaya transportasi menjadi lebih mahal, otomatis semua komoditas barang maupun jasa kena imbasnya.
Menurut saya, aspirasi mahasiswa termasuk respon publik terhadap kenaikan BBM ini semuanya wajar dalam dinamika berbangsa dan bernegara.
Hal ini wajar sesuai filosopi atau asas vox populi vox dei ‘suara rakyat suara tuhan’.
Sensitifitas semua pihak atas naiknya harga BBM Subsidi sebagai koreksi kebijakan publik ke arah yang lebih baik.
Manisnya anggaran subsidi BBM dan pengalihan anggaran subsidi BBM diduga rentan diselewengkan dari tujuan akhirnya, termasuk BLT BBM maupun BSU dan dana transfer umum ke daerah.
Publik mengharapkan kebijakan pemerintah yang pro rakyat, namun para elite politik kelompok rasionalis yang pro dan kontra dengan issue ini malah ‘berkutat’ mengamankan kepentingan pragmatisnya masing-masing secara politik dan ekonomi.
Sementara kelompok rasionalis yang pro dan kontra dengan isu naiknya BBM Subsidi, pragmatis berkepentingan secara politik menaikkan citra politik yang pro-pemerintah maupun yang kontra, termasuk kepentingan ekonomi para pendukung kelompok rasionalisnya masing-masing, ini ada kaitannya dalam pemenangan Pemilu 2024, maka tak jarang pemerintah menaikkannya jelang Pemilu.
Isu ini jadi pusat perhatian dan berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat, demikian pula issue hukum ‘Sambo’ yang ‘liar’ di ranah politik internal Polri, besarnya peran institusi Polri juga menjadi daya tarik bagi partai politik menjelang Pemilu 2024.
Kemungkinan besar, masing-masing kelompok rasionalis merasa ‘terusik’, karena sejatinya kedua issue tersebut erat kaitannya dengan penegakkan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas alias kebermanfaatannya tak menjangkau kesamaan hak dan kewajiban rakyat.
Masing-masing kelompok rasionalis telah merasa ‘terusik’ atas dampak kedua issue itu, karena kebermanfaatannya tak menjangkau kesamaan hak dan kewajiban rakyat yang bersamaan harus diperoleh, itulah mengapa penegakkan hukum sebagai indikator berikan masukkan kepada pemerintah, bukan malah dijadikan komoditas hukum.
Filosopi asas lex nimiem cogit ad immpossibilia ‘UU itu tidak memaksakan seorangpun untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin/tidak masuk akal untuk dilakukan’ terwujud, jadi tidak alasan untuk tidak melakukannya.
Mengapa?  Karena UU itu hasil kerangka pemikiran logis yang telah melalui uji publik dan konstitusi pun telah memberi ruang bagi publik untuk mengajukan uji materil, bilamana ada yang tak sesuai dengan UU dasar 1945, maka publik perlu di edukasi melalui pemikiran logis jalan tengah naiknya BBM Subsidi, karena belum tentu BLT BBM, BSU dan Dana Transfer Umum ke daerah terus berlanjut, sama halnya subsidi BBM ini.
*Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum ‘PATIH’

Tinggalkan Komentar