BPIP Buat Buku Saku untuk Kaji Implementasi Pancasila di Kalangan ASN
” buku saku harus operasional dan mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia” (Antonius Benny Susetyo)
JAKARTA, Gerbangkaltim.com– Direktorat Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengadakan penyusunan buku saku Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila, Rabu (29/03/2023), dengan mengajak para pakar sebagai narasumber, seperti Irfan Abu Bakar, Anggota Dewan Penasehat Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Idris Hemay, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ignatius Kristianto (Manager Rise Litbang Kompas).
Hadir juga dalam acara tersebut, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo. Pada kesempatan yang diberikan kepadanya, Benny, sapaan akrabnya, menegaskan terkait buku saku ini.
“Ketua Dewan Pengarah (Megawati Soekarnoputri) mengarahkan bahwa roh Pancasila harus dikembalikan lagi. Jadi, kajian harus berbicara soal kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat Indonesia; seperti yang Soekarno katakan: ketuhanan yang berkebudayaan,” ungkapnya.
Salah satu pendiri Setara Institute ini menyampaikan bahwa terjadi stagnansi dalam intoleransi di Indonesia.
“Di era SBY sampai sekarang, Jokowi, intoleransi mengalami stagnansi: tidak berkurang dan tidak bertambah. Persoalannya karena konstitusi dikesampingkan, kalah dari kesepakatan. Setarra Institute dan UGM melihat darurat intoleransi ini terjadi,” jelasnya.
“Eksklusivitas dibangun dari beberapa jalur. Pendidikan, contohnya: kita lihat dari PAUD pun narasi kebencian sudah dibangun. Kedua, persoalan formalisme, bagaimana menguatnya simbol-simbol formalisme agama, bagaimana kekuatan yang lebih besar jatuh pada kebijakan yang memakai simbol agama,” lanjutnya.
Benny mengajak semua untuk merekonstruksi kembali isi buku saku sehingga dapat menjangkau masyarakat Indonesia secara luas.
“Hak-hak dan kewajiban konstitusi warga negara jadi titik awal. Jelas bahwa Pancasila itu sumber hukum dari semua hukum di Indonesia, otomatis Pancasila dan nilai-nilainya harus diatas dari semua kesepakatan. Konstitusi juga dasar kedua setelah Pancasila; konstitusi juga tidak boleh kalah dengan kesepatan,” tuturnya.
“Kalau ada orang melakukan tindakan pelanggaran ibadah, itu harus dihukum,” tegasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini mengarahkan agar kajian implementasi bukan ditujukan kepada masyarakat, tetapi kepada pejabat dan ASN.
“Mereka adalah penyusun dan pelaku kebijakan. Pancasila harusnya muncul dalam kebijakan yang disusun dan dikerjakan mereka. Nah, inilah mengapa kajian implementasi seharusnya bukan menuju kepada masyarakat, tetapi kepada para pejabat dan ASN: apakah mereka sudah menjadi role model implementasi Pancasila yang baik? Atau sebaliknya, lewat kebijakan yang mereka torehkan, semakin tidak menghiraukan Pancasila?” imbuhnya.
Lanjut, budayawan ini juga meminta agar dalam penyusunan buku saku ini, pengertian para penyusun tentang Pancasila dan nilai-nilainya, secara benar dan komprehensif, harus terjadi.
“Sehingga apa yang dijelaskan di buku saku itu jelas dan terang untuk semua masyarakat Indonesia, agar tidak terjadi salah paham dan salah kaprah lagi. Masyarakat harus kenal Pancasila secara mendalam dan keseluruhan,” kata Benny.
Pakar komunikasi politik ini menyarankan agar buku saku harus operasional dan mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia.
“Pakai bahasa dan gaya yang mudah dimengerti oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia, sehingga masyarakat semua bisa memahami sejarah, nilai, dan pengaplikasian Pancasila, agar menjadi living dan working ideology, contohnya: sejarah tokoh-tokoh Islam yang setuju dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ingat juga, jangan bersifat indoktrinasi; itu yang dilakukan oleh Orba dan tidak boleh diulang kembali,” sebutnya.
“Bangun metodologinya, gali sejarahnya, fakta lapangannya, baru proses dialektika dan kata-katanya. Kita harus mengubah keadaan dan situasi dimana kita bersama melakukan tindakan konkrit untuk mencegah potensi dan membangun habitus baru.”
Benny pun menambahkan jangan sampai buku saku ini tersirat mengambang dan jauh dari jangkauan masyarakat.
“Buku banyak dikeluarkan pemerintah, tapi tidak ada sosialisasi masif. Jadinya banyak yang tidak tahu dan tidak paham. Hasilnya seperti sekarang: pemerintah daerah tidak paham. Masyarakat tidak paham. Tidak ada edukasi. (Buku) Harus operasional, sederhana, sekonkrit mungkin, dan rohnya adalah Pancasila,” jelasnya lagi.
Pada akhir kata, rohaniwan Katolik ini mengatakan soal tujuan awal pendirian BPIP sebagai penutup.
“BPIP didirikan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada; BPIP diharapkan untuk menjadi lembaga fatwa konstitusi, supaya betul-betul Pancasila tidak terjebak pada doktrin saja, tetapi masuk dan menjadi roh dari setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, buku saku ini harus bisa dimengerti semua pihak, sehingga ideologi Pancasila menjadi ideologi praktis.” (***)
BACA JUGA