BPIP DORONG PANCASILA JADI ACUAN DALAM BERPOLITIK

 

Gunakan juga ruang digital untuk pendidikan agar Pancasila benar menjadi acuan berpolitik

                   –Antonius Benny Susetyo–

 

Surabaya, GERBANGKALTIM. COM- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang diwakilkan oleh Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo, menyerukan agar masyarakat menggunakan Pancasila jadi acuan dalam berpolitik, terlebih dalam menyambut tahun politik 2024.

Hal itu dilakukan dalam Seminar “Gereja Berpolitik: Sudut Pandang Ajaran Gereja dan Nilai-Nilai Pancasila” yang diadakan oleh Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya, di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (10/06/2023).

Hadir dalam acara itu dan menjadi narasumber adalah Yunarto Wijaya (Direktur Eksekutif Charta Politik Indonesia), Eko Armada Riyanto (Guru Besar STFT Widya Sasana Malang) dan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo.

Acara ini dihadiri 500 orang peserta luring dan daring, yang terdiri dari umat Katolik dalam Keuskupan Surabaya, serta masyarakat sekitar Kota Surabaya dari lintas agama lain.

Yunarto memaparkan bagaimana situasi politik Indonesia di saat menjelang tahun politik 2024, dan bagaimana umat diharapkan menyikapi hal yang terjadi.

“Jangan terbawa suasana, jangan terbawa politik aktual. Pilihlah orang yang menurut anda sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang anda yakini. Bukan karena calon tersebut terlihat kuat, terlihat bagus, atau yang terlihat sangat patuh sama presiden sekarang, atau yang mengulang-ulang memuji presiden-presiden yang ada.”

“Saya mengutip apa yang dikatakan oleh Romo Magnis: pilihlah yang paling sedikit resikonya, pilihlah yang track recordnya lebih bersih. Anda jangan melanggar prinsip anda karena ada yang berkilauan,” tuturnya.

Eko Armada memaparkan bahwa politik bukanlah cuma sekedar ikut kontestasi politik.

“Gereja tidak bisa menjadi relawan salah satu partai politik ataupun calon, tetapi gereja harus mengambil secara konkrit bagian dalam tatanan hidup bersama, agar hidup bersama ini menjadi hidup yang adil dan sejahtera. Umat Katolik tidak boleh tinggal diam dan sibuk dengan koor, lagu, dan liturgi,” katanya.

Dia pun menambahkan lebih lanjut soal gereja yang harus ikut serta dalam tatanan hidup bersama tersebut.

“Politik itu juga berjiwa sosial, belalah kaum yang tersingkirkan tetapi bukan playing victim merasa bahwa kita karena beragama Katolik berarti minoritas. Perbaharui mental dan program layanan kategorial di gereja. Bukan hanya ribut soal liturgi, tapi bantu masyarakat yang membutuhkan dengan tindakan yang konkrit, akuntabel, dan meyakinkan,” tegasnya.

Benny sendiri membawakan paparan mengenai bagaimana nilai-nilai Pancasila harus dijadikan pondasi oleh masyarakat dalam berpolitik.

Pakar komunikasi politik ini juga memaparkan secara singkat urgensi pengajaran pendidikan Pancasila kepada kaum muda.

“Riset dari Setara Institute menunjukkan bahwa anak muda, 83 persen, menganggap Pancasila bisa diturunkan dan diganti ideologi lain. Ini sudah terlihat bahwa anak-anak kita butuh diajarkan kembali pendidikan Pancasila. BPIP sudah membuat dan akan segera diberlakukan di sekolah-sekolah, buku ajar, yang meliputi 70 persen praktek nilai Pancasila di masyarakat, dan 30 persen ilmu dan teorinya. Buku itu akan diajarkan Juli tahun ini,” jelasnya.

Terhadap politik dalam hal pemilihan langsung tahun 2024 yang akan datang, Benny mengingatkan agar umat tidak menjadi ‘goblok permanen’.

“Kita harus tahu sejarahnya, intinya, Pancasila itu apa. Sila Ketuhanan itu apa, bahwa harusnya tidak ada egoisme antar keagamaan, tidak ada mayoritas dan minoritas. Negara ini negara kesepakatan, bukan negara agama, bukan negara sekuler. Jangan termakan manipulasi agama sekedar untuk mendapatkan dukungan.”

“Anda harus memiliki kejernihan, kecerdikan dalam berpikir; yang waras harus melawan. Politik menggunakan nalar sehat. Politik di Indonesia menggunakan nilai-nilai Pancasila. Cari pemimpin, anggota dewan, cari tempat dimana suara anda digunakan oleh orang-orang yang tepat, yang melaksanakan nilai-nilai Pancasila; bukan yang sudah memiliki track record yang buruk. Bukan juga yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik, tetapi menjadikannya sebagai working dan living ideology,” imbuhnya.

Stafsus Ketua DP BPIP itu pun menutup paparannya dengan sebuah ajakan.

“Gunakan juga ruang digital untuk pendidikan agar Pancasila benar menjadi acuan berpolitik. Literasi digital juga harus dijalankan terus menerus. Jangan jadi elitis, turun kebawah dan melaksanakan politik moral, berdasarkan nilai Pancasila,” tutupnya. (GK)

Tinggalkan Komentar