Cinta Yang Cukup, Cerpen Anugra Resviyanti

 

Didalam mata Hawwa tergurat kesedihan yang amat mendalam. Namun Kesedihan itu mampu dia tutupi dari sahabatnya, Jia Li.

Hawwa adalah gadis cantik keturunan Pakistan. Matanya berwarna coklat dan sayup, hidung mancung, kulit putih, tingginya sekitar 168cm. Hawwa sangat mirip dengan ibunya, ia adalah gadis yang taat beragama. Sebagai seorang muslimah, hawwa selalu memakai hijab jika hendak bepergian atau sekedar keluar dari Rumah.

Hawwa adalah sahabat sedari kecil Jia Li Gadis keturunan Tionghoa. Jia Li gadis manis bermata sipit berkulit putih, Giginya rapih sehingga senyumnya sangat memikat. Tinggi badannya kurang lebih sepadan dengan Hawwa. Jia Li adalah penganut Konghucu taat.

Hari ini Jia Li akan menikah dengan Chang. Dan mereka bertiga Hawwa, Jia Li, Dan Chang adalah tetangga sekaligus sahabat sejak kecil sampai sekarang.

Tempat tinggal mereka adalah salah satu Chinatown di Indonesia. Hanya keluarga Hawwa yang berdarah pakistan ditempat itu. Awal mula Keluarga Hawwa tinggal di Indonesia, karena ayahnya terlilit hutang yang sangat banyak di tempat kerjanya. Sanak saudara mereka di Pakistan tidak ada yang mampu membantu. Ibu Hawwa yang bernama Atufah lalu meminta bantuan ke salah satu sahabatnya untuk diberi pekerjaan dan tempat tinggal. Sahabat Atufah menyarankan untuk berpindah Negara agar ia bisa melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang suaminya yang kejam. Juga agar Atufah tidak terus-terusan menangis setiap hari karena telah ditinggal pergi suaminya beserta utang-utangnya dalam keadan hamil tua. Sahabatnya membayarkan hutang suami Atufah dengan syarat dia mau pindah Negara. Sahabatnya pernah sekali melakukan perjalanan bisnis ke Indonesia dan menurutnya disanalah tempat dimana dia tidak akan pernah lagi ditemukan suaminya. Penderitaanya akan berakhir jika ia mau mengikuti sarannya.

Di indonesia Atufah tinggal di Chinatown atas rekomendasi sahabatnya. Ada rumah tua yang masih layak huni disana, harganya terjangkau dan yang penting ia punya tempat tinggal. Satu bulan menetap di Indonesia, lahirlah Hawwa yang hanya beda beberapa bulan dari kelahiran Jia Li dan Chang. Mereka bertiga adalah tetangga yang sangat rukun meskipun berasal dari latar belakang kepercayaan yang berbeda.

Mereka bertiga selalu masuk ke sekolah Negeri yang sama sejak SD sampai dengan SMA. Barulah Saat Mahasiswa, mereka kuliah di kampus yang beda namun tetap di kota yang sama. Hanya Chang yang kuliah di PTN sedangkan Hawwa dan Jia Li kuliah di PTS.

Chang yang kuliah di jurusan arsitektur sangat suka membuat desain rumah sederhana dan unik. Jia Li kuliah Ilmu Ekonomi dengan mengambil kelas Sabtu dan Minggu sambil melanjutkan bisnis keluarganya. Sedangkan Hawwa mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Sepulang dari kuliah Hawwa biasanya ikut membantu Jia Li di toko juga jika Sempat ia membantu Ibunya membuat Kue. Hanya dengan cara seperti itu Hawwa mampu melanjutkan pendidikannya.

Semenjak Hawwa lahir, Ibunya mencari nafkah dengan modal seadanya. Ibu Hawwa menjual kue khas Timur Tengah seperti Halva, baklava, kanafa, muhallabia, basbousa, umm Ali, dan Samosa. Setiap hari ibu Hawwa menitipkan kuenya di beberapa toko kue Tradisional yang besar, nanti setelah laku baru hasilnya di bagi dengan pemilik toko. Karena kemampuan ibunya membuat kue dengan kwalitas dan rasa yang baik akhirnya mereka berdua hidup dalam kecukupan. Bahkan sekarang mereka sudah punya toko kue sendiri meskipun belum terlalu besar namun cukup untuk membiayai sekolah Hawwa dan kebutuhan mereka berdua.

Suatu hari Ibunya menyuruh Hawwa pergi mencari bahan kue. Karena bahan yang diperlukan agak sulit didapat, jadilah hawwa seharian kesana kemari mencarinya.

Dari pagi sampai masuk waktu duhur belum juga rampung belanjaan Hawwa. Diapun singgah di masjid dekat toko untuk sholat duhur. Ketika hendak ketempat wudhu ia mendengar suara yang tidak asing di pekarangan masjid. Dan benar itu chang dan 3 orang temannya.

“Loh kok ada kamu chang, ngapain ? ”

Melihat ada Hawwa juga di masjid itu, Chang kaget tapi segera menguasai dirinya kembali.

 

” Lagi survey gedung kesenian dekat-dekat sini, gedungnya butuh di renovasi tapi anggarannya sedikit jadi kami relawan yang akan membantu menggambarkan denah gedungnya. Temanku mampir sholat dulu”

“yasudah saya sholat dulu yah tunggu disini”

“iya wa”

Hawwa berlalu dengan senyum yang benar-benar menawan.

Chang memohon agar dalam senyuman itu juga menyimpan sedikit saja rasa. Mata chang berbinar melihat Hawwa, sudah sekian lama mereka bersahabat dan sudah sekian lama juga chang menyimpan rasa ke Hawwa. Benar-benar rumit jadinya. Ketita bukan hanya rasa yang menjadi tolak ukur tapi justru banyak hal lain yang lebih menentukan. Maka didepan masjid tadi, Chang menunggu dengan penuh debar kedatangan Hawwa usai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah taat.

Usai sholat, Hawwa keluar menemui Chang. Mereka berbincang dan Chang berhasil menguasai dirinya untuk tidak memperlihatkan segala bentuk perasaannya pada Hawwa. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak penghalang akhirnya Chang tidak menyinggung apapun itu yang akan mengangkat topik perasaan antara gadis cantik berwajah Pakistan tulen dan pria tampan, sipit, kulit putih, rambut hitam legam keturunan Tionghoa.

Chang tidak kalah tampan dengan selebritas, bahkan jika kalian pernah mendengar suaranya yang merdu dan diiringi petikan gitarnya yang terdengar profesional maka kalian akan mengira dia penyanyi papan atas yang serta merta menjadi penyanyi terkenal tanpa mengikuti ajang pencarian bakat.

Selama Chang dan Hawwa bercerita, mereka hanya membahas mengenai gedung yang akan di desain oleh Chang dan teman-temannya.

Chang sesekali bertanya tentang kuliah Hawwa. Lalu Hawwa juga bertanya tentang mengapa Chang sangat Tertarik dalam dunia Arsitektur. Chang mengatakan bahwa iya menggambar semata-mata untuk menyalurkan hobinya.

Hawwa diam sebentar lalu sambil senyum. Ia mengatakan ingin di gambarkan rumah impiannya.

” gambarkan rumah impianku dong chang”

” ehh memang seperti apa rumah impianmu? ” jawab chang agak kikuk

” gambar aja rumah panggung yang berada di sebuah desa dan dibelakang rumah itu ada sungai yang mengalir jernih” hawwa menjawab sambil senyum-senyum sendiri. Dia juga menambahkan bahwa rumah impiannya itu penuh bunga di terasnya, pekarangannya luas dan yang paling penting aku mau pelihara bebek, tenang aja aku gak bakal buang sampah ke sungainya kok Chang” Hehehe

Mata chang berbinar. Senyumnya mengebang. Hatinya tidak karuan. Iya mendapat inspirasi berharga dari seorang Hawwa. Perasaannya ke Hawwa semakin menjadi, itu membuatnya merasa melambung tinggi sekaligus jatuh ke lubang paling dalam.

Kapanpun chang membayangkan memiliki Hawwa maka saat itu pula bahagia dan pilu merundungnya.

Hawwa pamit harus segera pulang ke rumah dan Chang segera bergegas ke gedung kesenian.

Pertemuan mereka hari ini tidak di rasa cukup oleh Chang. Sudah terlalu besar rasa yang ia pendam kepada Hawwa namun memang tidak ada jalan baginya untuk memiliki hawwa. Perbedaan mereka terlampau besar. Chang merasa tak akan pernah mampu mengubah itu. Tak akan pernah.

Tahun berganti. Chang, Hawwa, dan Jia Li telah meraih gelar sarjananya. Mereka bertiga lulus hampir bersamaan. Hanya berbeda bulan saja.

Hari itu Chang di terima kerja di perusahaan swasta terbaik di kotanya. Orang tua Chang sangat bangga dan ketika Chang mendapat gaji pertamanya, orang tuanya pun menyarankan agar dia segera menikah karena dinilai sudah mapan.

” Adapun mempelai wanita akan kami Carikan, dan kamu pastilah sangat suka ” begitu perintah ibunya yang tidak akan bisa Chang tentang

Malam itu Chang, hawwa, dan Jia li pergi ke warung Nasi Goreng langganan mereka. Cerita mereka hampir sama setiap hari. Tentang persahabatan mereka yang awet dan kehidupan Mereka yang semakin berubah. Kedewasaan membawa mereka ke tingkat yang lebih mapan. Chang yang sudah kerja di perusahaan swasta terbaik, Jia Li yang berhasil meneruskan beberapa bisnis keluarganya dan Hawwa yang sudah berhasil pula membuat toko kue ibunya semakin meningkat. Hawwa bahkan mampu membuka cabang toko kue di dua kota lainnya.

Mereka bertiga tidak bosan-bosannya berbagi cerita tentang pekerjaan yang kini mereka geluti.

Puas dengan menyantap nasi goreng dan cerita panjang lebar mereka bergegas pulang kerumah masing-masing.

Mereka sampai dirumah dengan bersamaan karena memang bertetangga. Jia Li membuka pintu rumah dan disambut senyum oleh ibu dan Ayahnya. Mereka memberi tahu Jia Li bahwa bulan depan Ia dan Chang akan melangsungkan pernikahan. Karena di rasa mendadak, Jia Li bertanya pada orang tuanya mengapa secepat itu dan mengapa Chang yang mereka pilih?

” kitakan bertetangga dengan Chang sudah lama. bapak, Ibu, dan orang tua Chang juga sudah merencanakan ini sejak lama. kamu juga bersahabat dengannya dari kecil, kita seiman dengan mereka pula ” ibu Jia Li menerangkan.

Tidak ada celah yang mampu dibantah oleh Jia Li. Ia memang tak ada alasan menolak perjodohan itu karena cinta baginya akan mudah tumbuh jika dengan Chang ia menjalani kehidupan di masa depan.

Iya, baginya Chang memang sosok laki-laki idamannya. Selain karena sudah sejak lama mereka bersahabat dan bertetangga, Jia Li juga merasa bahwa Chang satu-satunya laki-laki selain bapaknya yang sangat dekat dengannya.

Berbeda dengan Jia Li. Chang yang malam itu juga diberitahu orang tuanya bahwa pernikahannya akan digelar bulan depan merasa separuh dunianya runtuh. Disatu sisi ia tak akan pernah mampu menentang orang tuanya, di sisi lain cintanya memang hanya untuk Hawwa dan Jia Li sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Namun malam itu berakhir dengan pilu. Chang hanya bisa mengangguk pasrah. Tapi tidak dengan hatinya, cintanya tak pernah bisa pasrah jika bukan pada Hawwa.

Kabar tentang pernikahan Jia Li dan Chang sudah beredar kemana-mana. Orang-orang di tempat mereka tinggal tak habis-habisnya membicarakan kesetujuan mereka tentang perjodohan itu. Namun di balik antusias para rekan tetangga, Hawwa memendam sepi, pilu, dan hampa. Selama ini ia tidak pernah dengan tegas pada dirinya sendiri bahwa hanya dengan Chang hatinya merasa teduh dan damai sedang perbedaan mereka terlampau jauh dan tembok pemisah mereka terlampau kokoh. Itulah alasan Hawwa memilih untuk menemui sahabatnya dan memberi selamat dan rasa bahagia yang entah malah membuat hatinya semakin terluka.

Jia Li tak bisa membendung rasa bahagianya. Ia memeluk Hawwa dan berjanji kebahagiaannya ini akan mengalir juga kepada sahabatnya itu dengan cara apapun. Hawwa mengangguk dan senyumnya mengembang namun hatinya menangis dan berdarah-darah.

 

Ketika menemui Chang dan memberikan ucapan selamat. Hawwa berusaha memperlihatkan senyum bahagianya dan itu membuat Chang diam seribu bahasa tanpa suara, tanpa senyum. Hanya tatapan yang menusuk-nusuk hati Hawwa. Hawwa memang tidak pernah tau perasaan Chang padanya namun dengan melihat sikap Chang kali ini, Hawwa merasa ada yang aneh. Ia menerka tidak ada kebahagiaan yang tergurat di wajah Chang.

” saya bersalah Hawwa, perasaan saya bukan untuk Jia Li. Hati saya buat kamu tapi saya Bersalah mengatakan ini diwaktu yang benar-benar terlambat”

Chang akhirnya mengatakan semuanya dengan sangat singkat dan terdengar menyakitkan dan itu membuat Hawwa diam menunduk. sesekali Chang mendapati air mata Hawwa jatuh begitu juga dengannya.

Jia Li sangat kaget mendengar kedua sahabatnya itu. Sudah sejak tadi ia hendak menemui Chang dan Hawwa.Namun karena Chang terlihat berbeda menatap Hawwa, ia memutuskan untuk mendengar percakapan mereka dibalik pintu cafe tempat Chang dan Hawwa duduk.

Selepas itu. Jia Li memilih pulang ke rumah dan ia tidak pernah ingin membicarakan pengakuan Chang pada Hawwa di cafe tadi. Baginya pernikahannya dengan Chang tak boleh diterpa masalah. Tak akan ada orang yang mampu penghalanginya sekalipun itu Hawwa.

Maka hari ini tepat satu jam sebelum prosesi ritual pernikahan Chang dan Jia Li. Tiga sahabat sedari kecil kumpul di dalam kamar pengantin. Jia Li lah yang ber inisiatif mengadakan pertemuan mereka bertiga tanpa sepengetahuan siapapun.

Jia Li membuka percakapan dengan suara bergetar. Keberaniannya hari itu menggambarkan dirinya yang sebenarnya.

“Saya tau kalian saling mencintai, tapi kita semua tak punya daya untuk membatalkan pernikahan hari ini. Maka izinkan saya memberi satu pilihan demi persahabatan kita bertiga”.

Chang dan Hawwa hanya saling memandang tak mengerti apa sebenarnya yang hendak dikatakan Jia Li.

Akhirnya Hawwa angkat bicara.

” Jia Li dan Chang, kalian sahabat terbaikku dan aku turut bahagia dengan kalian hari ini. Kalian tahu itu ”

Chang hanya mematung mendengar ucapan Hawwa, hatinya perih. Terlalu perih.

“aku tahu, kita bertiga tahu, tidak akan ada yang berubah dari pernikahan hari ini ” Jia Li melanjutkan dengan terbata

” aku akan memiliki Chang tapi bagaimana denganmu, bagaimana dengan cinta kalian?

Kembali Chang dan Hawwa saling memandang lalu menunggu apa yang akan dikatakan Jia Li selanjutnya.

Aku berjanji setelah kami menikah dan dikaruniai anak pertama maka akan kuserahkan itu pada kamu Hawwa ” Suara Jia Li brergetar namun terdengar meyakinkan.

Jia Li menjelaskan dengan wajah tersenyum sendu. Ia juga mengatakan bahwa ia akan sangat berdosa jika ia hanya memikirkan kebahagiaannya.

” kamu akan menganggap anak kami sebagai pengganti Chang, maafkan aku Hawwa hanya itu yang mampu aku lakukan buat kamu ”

Hawwa menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Jia Li. Hawwa sempat menolak karena itu sama saja dengan merenggut kebahagiaan mereka berdua tapi Jia Li akhirnya berhasil meyakinkan Hawwa dan Chang bahwa dengan cara inilah maka tidak ada luka yang mengangnga terlampau lama.

“aku tak ingin kau sedih saat kami berdua telah bahagia Hawwa, Komohon kalian berdua setuju denganku ” begitu Jia Li meyakinkan Hawwa dan Chang bekali-kali.

Chang tak kuasa menahan air matanya, dengan penuh pertimbangan ia akhirnya setuju dengan Jia Li.

Perbedaan memang memaksa mereka menghadapi keadaan yang terlampau rumit namun mereka adalah tiga sahabat yang berhati lembut. Segala yang dikatakan salah satu dari mereka akan mereka hormati dan perasaan seorang sahabat akan selalu mereka jaga semampu mereka.

Akhirnya kesepakatan mereka berakhir janji. Setelah Chang dan Jia Li menikah mereka Berdua akan tinggal sementara di Hongkong dengan alasan memperluas jaringan bisnis disana. Setelah mereka punya anak, Hawwa akan menyusul mereka ke hHongkong lalu Chang dan Jia Li akan kembali ke Indonesia dengan pengakuan belum mempunyai anak. Hawwa akan menetap di manapun ia mau namun bukan di Indonesia. Hawwa akan pergi bersama dengan cinta yang diserahkan Chang meskipun itu bukan Chang yang sesungguhnya.

Dan benar setelah pernikahan Chang dan Jia Li rencana mereka berhasil. Jia Li melahirkan bayi laki-laki yang sangat mirip dengan Chang. Lalu Jia Li dan Chang kembali ke Indonesia. Hawwa dan Ibunya yang sangat mengerti perasaan anaknya akhirnya sepakat pindah ke turki dan membawa serta Muhammad Al-faatih. Itulah nama anak Jia Li dan Chang yang kini menjadi anak Hawwa.

Setahun di Turki, Hawwa menikah dengan tetangganya yang bernama Hannan. Hannan seorang duda yang ditinggal istrinya karena ia mandul. Hannan berprofesi sebagai dosen di fakuktas Ilmu Komunikasi universitas Yeditepe istanbul, Turki. Hannan telah mendengar cerita Hawwa dan itu tidak masalah karena menurutnya kita tak akan pernah bisa lolos dari cinta pertama.

Bahagia akan kita ciptakan tanpa mencampurnya dengan kebahagiaanmu sebelumnya, Faatih adalah titipan Allah untuk kita dan akan kuanggap sebagai anak kandung kita jelas Hannan mantap.

Hawwa dan Hannan akhirnya menikah dan keduanya mengaku pernikahan ini murni atas dasar saling mencinai. Mereka hidup bahagia dengan adanya Muhammad Al-Faatih.

Persahabatannya dengan Jia Li dan Chang pun tetap terjalin. Meskipun tak pernah bertemu lagi namun mereka selalu bertukar kabar lewat Email. Terakhir Hawwa mendapat kabar bahwa Jia li telah melahirkan bayi laki-laki yang sangat tampan.

Namun masih ada satu kekhawtiran Hawwa, jika suatu saat Muhammad Al-fatih menyadari perbedaan tahun kelahirannya dan tahun pernikahan orang tuanya, bagaimana?. Hawwa dan Hannan masih mempersiapkan jawaban jika hal itu terjadi. Yang pasti jawaban mereka harus dengan sebaik-baiknya pun seadil-adilnya.

 

*Anugra Resviyanti, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Uiversitas Muslim Indonesia

 

Tinggalkan Komentar