DIALOG MASYARAKAT INDONESIA DI JERMAN BERSAMA MAHFUD MD DAN BENNY SUSETYO MEMBUMIKAN PANCASILA UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRASI

 

DALAM rangka Hari Lahir Pancasila yang setiap tahunnya dirayakan pada tanggal 1 Juni, KJRI di Frankfurt mengadakan Seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila dengan tema “Membumikan Pancasila untuk Pemilu Damai dan Bermartabat” serta Deklarasi Pemilu Damai dan Bermartabat”, pada hari Sabtu (10/06/2023), pukul 11:30 waktu setempat dan dihadiri oleh Mahfud MD (Menko Polhukam RI) serta Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, secara daring dari Indonesia.

Adapun acara diikuti oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Frankfurt dan sekitarnya secara luring dan daring.

Konsul Jenderal RI Frankfurt, Acep Somantri, membuka acara dengan mengharapkan bahwa lewat acara ini, semangat menjaga pemilu yang damai terus terjaga.

“Harapannya adalah agar dalam pemilu ini kita tidak terpecah belah, dipenuhi kebencian dan politik identitas. Ini bukan sekedar pesta demokrasi lima tahunan saja, tetapi ini tentang masa depan Indonesia. Kita harus menjaga kontestasi pemilu dengan damai,” tuturnya.

Di dalam kesempatannya sebagai narasumber, Benny menyatakan bahwa pada dasarnya, kontestasi pemilu adalah perebutan kekuasaan.

“Ini bicara tentang perebutan kekuasaan; bagaimana partai politik dengan segala cara mendapat simpati rakyat. Kita menghadapi isu politik identitas yang memanipulasi agama dan sifat kedaerahan, sehingga demokrasi kita mengalami kemunduran,” tukasnya.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah (DP) BPIP ini menyoroti bahwa nilai Pancasila sebenarnya sudah tertanam di bangsa Indonesia.

“Pancasila bukan dari luar, tetapi dari dalam kita sebagai bangsa Indonesia. Nilai Pancasila dibatinkan oleh publik sebagai living dan working ideology. Itu yang harus kita sadari terus,” katanya.

Pakar komunikasi politik ini menjabarkan tantangan masyarakat Indonesia menjelang tahun 2024.

“Tantangan kita adalah menciptakan pemilu damai dimana gagasan dan ide adalah yang menjadi perdebatan, bukan identitas, isu SARA, ataupun memori-memori masa ‘keemasan’ jaman dahulu. Seperti Romo Magnis katakan: cari pemimpin yang dosanya paling kecil, yang rekam jejaknya paling kecil dosanya,” jelasnya.

Benny menyampaikan bagaimana mewujudkan nilai Pancasila itu sendiri.

“Jika masyarakat memiliki nilai ketuhanan, mereka takut pada Tuhan; mereka mencintai Tuhan sehingga tidak akan menghancurkan martabat manusia lainnya. Martabat manusia lainnya tidak akan direduksi olehnya, sehingga nilai kemanusiaan dijunjung tinggi. Karena nilai kemanusiaannya dijunjung, maka mereka akan menjaga persatuan; itulah nilai persatuan. Karena bersatu, tidak ada mayoritas minoritas, semua orang sama, itulah sila keempat. Dan dari situ, tercipta kolaborasi untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” bebernya.

“Maka, mereka yang mengamalkan nilai Pancasila tidak akan menjelek-jelekkan orang, menganggap orang lain dibawahnya, menganggap orang lain bisa ditindas, dan tidak memecah belah persatuan Indonesia.”

Dia pun menuturkan tugas dari para peserta, yang kebanyakan adalah masyarakat yang tinggal di Jerman, baik untuk pendidikan ataupun bekerja.

“Apa tugas kita? Isi ruang digital dengan menjaga kedamaian di dalamnya. Bangun terus kesadaran untuk literasi digital. Kobarkan pendidikan politik berdasarkan etika dan moral Pancasila. Berpolitik adalah untuk kesejahteraan umum, itulah cita-cita kita berbangsa dan bernegara, sebagaimana dituang dalam Pembukaan UUD 1945.”

Salah satu pendiri Setara Institute ini pun memberikan beberapa poin bagaimana demokrasi Pancasila tetap terjaga selama masa menyambut tahun pemilu 2024, yang intinya nilai Pancasila landasan berpolitik.

“Satu, elit politik mengedepankan Pancasila, sebagai etika publik dan alat pemersatu. Mereka tidak boleh bicara soal keluar dari Pancasila. Kedua, partai politik mengendalikan tim sukses dan sosial yang menyebarkan hoaks dan kebencian. Ketiga, partai politik mengedepankan nilai musyawarah mufakat. Keempat, penggiat media sosial menjadi pemutus kata bukan pengiya kata, menjadi kritis untuk menelaah informasi; anda harus menjadi wasit yang adil agar media sosial bukan penghancur tetapi menjaga persatuan Indonesia. Kelima, partisipasi publik diperlukan untuk menjaga moral dan pendidikan pemilih yang cerdas,” katanya menjelaskan.

Benny menutup paparannya dengan sebuah seruan.

“Mari gunakan konten cerdas untuk bantu generasi muda dan kawan-kawan kalian memilih, sehingga memiliki pemimpin yang memiliki jiwa Pancasila. Lawan radikalisme, politik identitas, dan rayuan ‘masa keemasan’ masa lalu.” (GK)

Tinggalkan Komentar