FILM “EKSIL”: TRAUMA DAN KETIDAKADILAN YANG TERABAIKAN

Oleh : Fathia Ghaida Tsuraya

 

‘Film Eksil berhasil membangun kesadaran masyarakat tentang masalah sosial yang ada dan dapat mempertanyakan mengapa negara tidak pernah hadir dalam mengembalikan HAM para eksil yang telah dirampas dengan paksa”

 

TAHUN ini kanal media sosial Indonesia dihebohkan dengan film Eksil yang ditayangkan di beberapa bioskop tanah air. Pasalnya, film yang disutradarai  Lola Amaria ini menceritakan nasib para mahasiswa yang menjadi eksil setelah peristiwa G30S PKI. Dapat dikatakan peristiwa ini telah menimbulkan korban dan trauma mendalam bagi Indonesia.  Dampak peristiwa ini tidak hanya dirasakan masyarakat dalam negeri melainkan juga dirasakan para mahasiswa yang saat itu berkuliah di luar negeri.

Para mahasiswa tahun itu diduga memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau pelaku dari aksi G30S PKI. Hal inilah yang menyebabkan para mahasiswa tidak diperbolehkan pulang kembali ke Indonesia dan menjadi orang tanpa kewarganegaraan. Semenjak saat itu mereka menjadi gelandangan untuk jangka waktu yang lama. Tanpa kewarganegaraan, beasiswa kuliah mereka dicabut, semua gerak-gerik mereka selalu diawasi oleh mantan negaranya. Mereka tidak dapat menghubungi keluarga di Indonesia agar keluarga mereka tetap selamat dan terbebas dari tuduhan anggota PKI.

Agar keselamatan dan kenyamanan hidup mereka terjamin. Para eksil ini sampai pergi dan mengemis ke beberapa negara yang dianggap mampu menampung nama mereka sebagai individu dari negara tersebut. Banyak dari para eksil ini yang akhirnya pergi ke Belanda bahkan sampai ke Swedia untuk meminta perlindungan serta mendapatkan status kewarganegaraan dari negara yang bersangkutan. Proses inipun memakan waktu yang cukup lama. Tidak secara praktis mereka dapat ditampung. Para mahasiswa ini harus membuktikan bahwa mereka bukanlah berasal dari anggota PKI. Mereka hanyalah mahasiswa yang berkesempatan kuliah di luar negeri berkat beasiswa yang diselenggarakan oleh Presiden Soekarno pada saat itu.

Sudut pandang inilah yang dibawa dan dibahas dalam film Eksil. Topik ini dapat dikatakan topik yang tabu untuk dibahas di Indonesia. Pasalnya kerusuhan G30S PKI ini tertanam di masyarakat sebagai peristiwa gelap yang pernah terjadi. Sehingga proses perizinan untuk menayangkan film ini di layar besar sangatlah susah dan menyita waktu yang cukup lama. Proses produksi film ini sudah dimulai pada tahun 2015. Namun, film ini baru diperbolehkan untuk ditayangkan pada awal tahun ini. Bahkan beberapa narasumber dari film ini telah meninggal dunia. Seperti yang telah disebutkan bahwa bahasan yang dibawa memiliki sudut pandang yang cukup sensitif, seperti mengungkit kembali peristiwa tahun 1965 ini. Agar film ini dapat ditayangkan, pihak penyelenggara dan produksi harus memenuhi banyak sekali persyaratan dan perizinan tayang. Film ini baru dapat ditayangkan jika ada komunitas yang mengadakan kegiatan nonton bareng dan diskusi. Akan tetapi, untuk mengadakan kegiatan ini juga tidak mudah. Bahkan ada daerah yang kegiatannya gagal dilaksanakan, seperti di Samarinda.

Pada awal kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu dari tiga partai dengan kekuasaan terbesar di Indonesia. Berbeda dengan dua kekuatan yang lainnya, partai PKI ini sangatlah terkenal di masyarakat, terutama masyarakat dengan kondisi perekonomian rendah. Hal ini sejalan dengan ideologi mereka yang menerapkan ideologi marxis. Seperti yang telah diketahui bahwa kelompok marxis ini memang berfokus pada kelompok buruh dan petani. Sehingga sangatlah mudah bagi mereka untuk mengeratkan hubungan dengan kelompok buruh dan petani yang menjadi pendukung loyal mereka.

Dalam film Eksil juga diperlihatkan seberapa besar pengaruh PKI dalam dunia sosial-politik di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Terutama betapa besarnya pengaruh PKI pada kepemimpinan D.N Aidit. Mereka berhasil menjadi kelompok yang sebelumnya tidak dianggap menjadi salah satu dari tiga penguasa politik di Indonesia berdasarkan pemilu tahun 1955. Mereka berhasil menduduki kursi pemerintahan dan menjadi pelaku dalam mempengaruhi kebijakan negara.

Namun, kondisi ini berbalik. Pada tahun 1965, tepatnya bulan September, PKI melancarkan aksi yang sangat menggegerkan seluruh masyarakat Indonesia. Para anggota PKI beraksi untuk menculik perwira ABRI yang sangat berpengaruh. Menurut data-data yang ada, peristiwa ini dipicu oleh adanya konflik yang terjadi antara PKI dan ABRI dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan para ABRI mengeluarkan sentimen anti-komunis di masyarakat. Juga adanya persaingan kekuatan di masyarakat antara kedua kubu ini. Konflik yang terjadi antara keduanya ini semakin parah sehingga muncullah aksi penculikan para perwira ABRI oleh PKI. Para perwira ini dibawa untuk dibunuh di sebuah lubang yang dikenal dengan sebutan ‘Lubang Buaya’. Aksi ini akhirnya menewaskan 6 anggota perwira Indonesia dan akhirnya berhasil dihentikan oleh Soeharto.

Peristiwa G30S PKI ini tidak hanya diperingati sebagai aksi kelam bagi kondisi sosial Indonesia. Namun, peristiwa ini juga menjadi titik balik dari keberlangsungan sosial-politik Indonesia. Setelah peristiwa ini nama Soeharto memiliki citra yang positif di masyarakat. Ia dianggap sebagai pahlawan pada masa kritis Indonesia berkat keberhasilannya dalam memberantas para PKI yang menjadi pelaku dalam Gerakan 30 September ini. Karirnya pun semakin naik. Hingga pada Maret 1966, Presiden Soekarno menerbitkan surat perintah atau ‘Supersemar’. Berdasarkan dokumen yang beredar, Supersemar berisi tentang pemberian legitimasi bagi Soeharto dalam menjaga kestabilan dan keamanan Indonesia. Sejak saat itu secara tidak langsung kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Indonesia dialihkan ke Soeharto.

Begitu Supersemar dikeluarkan, Soeharto langsung membubarkan PKI dan juga memberantas masyarakat yang diduga sebagai anggota dan memiliki hubungan dengan PKI. Hal ini didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/3/1996. Pemerintah juga menetapkan bahwa PKI merupakan organisasi terlarang sampai sekarang. Buntut dari Supersemar ini sangatlah luar biasa bagi karir Soeharto di dunia politik. Pada tahun 1967 Soekarno dipecat dari jabatannya sebagai Presiden RI yang digantikan oleh Soeharto berkat aksinya dalam memberantas PKI.

Pada masa kepemimpinan Soeharto ia sangat menekankan bahwa PKI dan ideologi komunis sangatlah berbahaya. Banyak sekali masyarakat yang masih diduga memiliki hubungan dengan anggota PKI ditangkap dan disiksa oleh ABRI. Tak sedikit masyarakat menjadi korban salah penangkapan. Para mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri juga ditarik kewarganegaraanya. Merekalah yang sering disebut para eksil Indonesia ini.

Dilihat dari dokumentasi film Eksil, para mahasiswa ini diperlakukan sebagai pelaku dari keberhasilan G30S PKI. Mereka bukanlah pelaku melainkan juga korban dari kesalahan pemerintah dalam asal menunjuk anggota PKI. Berkat dari asal tunjuk pemerintah ini mereka harus hidup tanpa jaminan keamanan dari negara karena kewarganegaraan mereka ditarik. KBRI yang ada di negara tempat mereka menimba ilmu tidak memberikan alasan yang jelas. Alhasil mereka menjadi gelandangan di negara orang, mencari negara mana yang ingin menampung mereka. Bertahun-tahun para mahasiswa ini hidup tanpa kepastian. Jika mereka menetap di negara tempat menimba ilmu atau kembali ke Indonesia keselamatannya semakin terancam.

Dominasi pemerintah dalam mendoktrin masyarakat bahwa PKI dan terduga anggotanya merupakan kelompok berbahaya sangatlah berhasil. 57 tahun peristiwa G30S PKI ini terjadi namun masyarakat masih tidak berani membahas ini di ruang publik. Begitu juga dalam membahas nasib para eksil ini terkait kelalaian pemerintah dalam memberikan ruang aman bagi masyarakatnya.

Berpuluh tahun para eksil ini hidup di luar negeri sebagai warga negara asing. Mereka tidak bisa balik ke Indonesia karena paham komunis masih menjadi paham yang berbahaya. Sedangkan mereka diduga memiliki hubungan dengan anggota PKI. Para eksil tetap memperjuangkan hak-hak yang diambil negara. Dalam film Eksil ini diperlihatkan susahnya hidup para eksil. Mereka harus memutuskan hubungan dengan keluarganya di Indonesia. Tak sedikit yang akhirnya bercerai dengan pasangannya dan berpisah dengan anaknya. Beberapa perjuangan dilakukan untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka. Namun, hal itu tidak dikabulkan Pemerintah Indonesia. Sebagian besar eksil sudah menutup usia dengan keadaan tanpa keluarga. Mereka yang masih hidup hanya berusaha melanjutkan hidup dengan kesedihan.

Jika kita melihat nasib para eksil Indonesia yang diceritakan dalam film tersebut sangat terlihat jelas bahwa adanya dominasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada saat itu. Dimana pemerintah secara masif membasmi semua kegiatan, bentuk, serta anggota PKI di Indonesia. Karena memang kondisi dalam negeri cukup suram, mengingat banyaknya korban tidak bersalah yang dihasilkan dari gerakan ini. Akan tetapi, di satu sisi pembasmian pemerintah memberikan ketidakadilan bagi para pelajar Indonesia yang ada di luar negeri. Mereka merupakan sekumpulan mahasiswa tidak bersalah yang awalnya melaksanakan tugas negara untuk bersekolah di tempat yang asing. Namun, berkat kejadian ini mereka mendapat ampasnya. Kewarganegaraan mereka dicabut, keluarga dalam negeri diawasi ketat, hak belajar dan kebebasan mereka pun direnggut begitu saja. Tanpa ada kejelasan sama sekali. Dominasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ini dibahas oleh para ilmuwan post-marxisme, terutama para ilmuwan jebolan Frankfurt School.

Jürgen Habermas, Max Horkheimer, dan Theodor Adorno merupakan tokoh penting dalam mengembangkan pemikiran post-marxisme, terutama teori kritis yang digagas oleh Frankfurt School. Mereka mengkritik teori marx yang hanya berfokus pada dominasi borjuis dan pengelompokkan masyarakat berdasarkan pada aspek ekonomi. Menurutnya pembagian kelas masyarakat modern tidak hanya sebatas pada ekonomi. Namun juga ada dominasi pada aspek budaya bahkan politik.

Menurut Habermas sendiri, dominasi yang terjadi pada masyarakat modern sebenarnya terletak pada banyak aspek (Thompson, 2017). Bisa dalam dominasi politik, ekonomi, budaya, juga sosial. Dominasi ini menekankan bagaimana suatu kelompok berhasil menguasai serta membatasi kehidupan sosial masyarakat yang akhirnya menjadi budaya dan melekat bagi masyarakat itu sendiri. Bahwa menurutnya kembali, dominasi yang terjadi dalam kehidupan sosial ini dapat terlihat dari bagaimana para aktor dominan menggunakan kekuasaan mereka dengan menghalalkan segala cara agar tujuan mereka tercapai. Istilah ini dinamakan sebagai rasionalitas instrumental oleh para ilmuwan Frankfurt School, khususnya Habermas (Thompson, 2017, hal.185).

Pada kondisi Indonesia, pemerintah menjadi aktor yang mendominasi masyarakat. Karena pemerintah sejak 1965 menyebarluaskan pemahaman di masyarakat bahwa PKI merupakan organisasi berbahaya dan bagi siapapun yang diduga memiliki hubungan dengan PKI melanggar aturan negara. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan keputusan pemerintah dalam memberantas paham komunis di Indonesia. Disinilah pemerintah menerapkan tindakan dan kebijakan politik yang menunjukkan kekuasaan. Dimana dalam pengambilan keputusan ini tidak memberikan ruang diskusi atau hanya sepihak. Rasionalitas instrumental yang bersifat memaksa inilah yang dikecam oleh Habermas.

Menurut Horkheimer dan Adorno adanya rasionalitas instrumental yang sifatnya mendominasi dapat memberikan efek alienasi bagi beberapa kelompok di masyarakat. Akan ada beberapa individu di masyarakat yang merasa terasingkan, tidak memiliki kontrol atas diri mereka, serta ketiadaan hak mereka sebagai manusia (Thompson, 2017, hal.194). Saya merasa bahwa efek alienasi ini dirasakan oleh para mahasiswa Indonesia di luar negeri yang dicabut hak belajar serta kewarganegaraan mereka.

Menjadi eksil bukanlah suatu pilihan namun keterpaksaan takdir. Jika mereka pulang, nyawa keluarga terancam akibat label “orang PKI” yang diberikan negara. Jika menetap di negara tempat mereka belajar pun tidak bisa. Mengingat izin belajar mereka dicabut secara paksa serta data mereka masih ada di kedutaan besar. Pergi dari satu negara ke negara yang lain menjadi salah satunya cara untuk bertahan hidup sampai ada negara yang mau menampung mereka. Para eksil ini merasa diabaikan dan ditinggal oleh negara, tanpa ada kejelasan. Jelas ini memberikan rasa tidak aman serta terpisah bagi mereka.

Selain para eksil, banyak sekali warga Indonesia yang berada di dalam negeri merasa terzalimi dengan adanya pembantaian nilai PKI yang dilakukan oleh negara. Hal ini karena banyak sekali korban salah tangkap di masyarakat. Salah satunya adalah para eksil ini. Mereka dituduh memiliki campur tangan dengan anggota PKI sedangkan mereka hanya melakukan tugas untuk menuntut ilmu di negara orang. Pemerintah Indonesia bahkan sampai sekarang tidak menanggapi korban salah tuduh ini dengan serius. Karena Pemerintah menutup semua bentuk diskusi publik terkait masalah ini. Pada masa itu, tidak ada rasa aman di Indonesia. Semua masyarakat berhati-hati dalam beraktivitas dan berinteraksi. Takut apabila menjadi korban selanjutnya. Apa yang terjadi oleh para warga serta mahasiswa Indonesia yang menjadi eksil ini juga dijelaskan oleh Horkheimer. Dalam konteks ini, Horkheimer menjelaskan bahwa kelompok yang disebutkan tadi menjadi korban atas rasionalitas instrumental yang dilakukan oleh kelompok dominan, atau Pemerintah Indonesia. Rezim otoriter menggunakan logika efisiensi dan kontrol untuk membungkam masyarakat dan mengeliminasi ancaman terhadap kekuasaannya, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Menurut Habermas, untuk menghilangkan ketidakadilan akibat dari dominasi yang terjadi di masyarakat. komunikasi yang terbuka dan adil menjadi kunci solusinya (Thompson, 2017, hal.203). Menurut saya, film Eksil berhasil mengambil perhatian masyarakat besar dan hal ini dapat membuka jalannya komunikasi seperti argumen Habermas. Dengan adanya komunikasi, dapat membangun kesadaran masyarakat tentang masalah sosial yang ada dan dapat mempertanyakan mengapa negara tidak pernah hadir dalam mengembalikan HAM para eksil yang dirampas dengan paksa. Namun, tugas selanjutnya, bagaimana komunikasi itu dapat dilanjutkan dan dituntaskan sampai keadilan dalam soal Eksil ini dapat terwujud? **

Fathia Ghaida Tsuraya
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

 

 

Tinggalkan Komentar