Hari Lingkungan Hidup Dunia, Ekosistem Kita Semakin Rusak
Oleh : Achmad Safari*
Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sebagai upaya mengingatkan dan menggugah kesadaran negara di dunia bahwa degradasi lingkungan dan kerusakan ekosistem menjadi masalah utama dan isu global yang harus menjadi perhatian bersama.
Dalam sejarahnya, permasalahan lingkungan menjadi perhatian dan dicetuskan pada Konferensi Lingkungan Manusia atau Konferensi Stockholm, yang digelar di Kota Stockholm, Swedia pada tanggal 5 – 16 Juni 1972.
Kemudian pada tanggal 15 Desember 1972, Majelis Umum PBB menetapkan setiap tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Adapun peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tahun 2021 ini mengangkat tema “Restorasi Ekosistem”.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun ini juga ditandai dengan peluncuran secara resmi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021 – 2030. Dekade PBB ini dimaksudkan sebagai langkah bersama dalam upaya memulihkan ekosistem yang rusak sebagai upaya untuk mencegah terjadinya krisis iklim, mencegah punahnya satu juta spesies, meningkatkan ketahanan pangan, pasokan air dan mata pencaharian.
Program yang dicanangkan ini juga bertujuan agar setiap negara dapat berperan untuk menghidupkan kembali penyerap karbon alami (hutan dan lahan gambut) yang dapat mengurangi emisi iklim hingga 25% pada tahun 2030.
Sebagai negara anggota PBB dan negara yang dianggap masih memiliki kawasan hutan, Indonesia tentu bersiap untuk menjalankan kebijakan Dekade Restorasi Ekosistem yang dicanangkan PBB tersebut.
Sebuah pekerjaan yang tak mudah untuk direalisasikan namun juga bukan hal yang mustahil untuk dapat mencapainya. Pekerjaan yang tak mudah, karena kondisi alam dan ekosistem yang telah banyak mengalami kerusakan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi hutan. Pada kurun waktu 2019–2020 deforestasi seluas 115.459 Ha, mengalami penurunan hingga 75% dibandingkan periode tahun 2018-2019 yang mencapai luasan 426.460 Ha.
Namun jika melihat angka deforestasi selama dua tahun 2018-2020, laju deforestasi mencapai angka 570.000 Ha, hampir seluas daratan di Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser Kaltim (596.760 Ha) dan lebih luas dari daratan di wilayah Kecamatan Tanah Grogot (326.950 Ha). Anda bisa bandingkan pula dengan luas wilayah dimana kalian berada, cukup besar bukan angka deforestasi tersebut?
Kalimantan menempati urutan pertama penyumbang laju deforestasi di Indonesia, luas kehilangan hutannya mencapai angka 41.500 Ha (sekitar 35%), diikuti Nusa Tenggara (21.300 Ha), Sumatera (17.900 Ha), Sulawesi (15.300 Ha), Maluku (10.900 Ha), Papua (8.500 Ha) dan Jawa (34 Ha).
Kehilangan ekosistem hutan tentu saja membawa dampak negatif bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa dampak negatif diantara banyak dampak lainnya yang ditimbulkan akibat deforestasi seperti punahnya bermacam spesies potensial hutan yang menyimpan berbagai misteri alam yang belum terpecahkan.
Deforestasi menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk mempelajari berbagai potensi yang ada di dalamnya.
Misalnya, hutan menyimpan beraneka macam flora yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat. Sangat sulit mencari tumbuhan hutan berkhasiat obat karena ekosistemnya yang sudah tak mendukung pertumbuhan akibat penebangan pohon maupun bergantinya kawasan hutan menjadi perkebunan monokultur.
Dewasa ini kita juga mengamati sangat sulit menemukan berbagai jenis hewan. Beberapa spesies serangga yang belasan tahun lalu sangat akrab dengan masa kecil kita, saat ini keberadaannya sudah sangat jarang terlihat.
Capung dan lebah misalnya, kita tak lagi melihat dengan gampang keberadaannya disekitar, padahal mereka sangat berguna dalam proses penyerbukan tumbuhan. Mungkin, ini satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman buah alami yang masih tegak tersisa didalam segelintir kecil hutan yang masih ada.
Timbulnya berbagai bencana banjir beberapa tahun belakangan ini, bencana banjir sangat akrab bagi kebanyakan masyarakat. Intensitas hujan yang turun sangat cepat menimbulkan genangan banjir bagi perkampungan penduduk.
Sungai juga menjadi semakin keruh karena bertambahnya jumlah partikel tanah yang ikut terlarut bersama buliran air hujan dan masuk ke perairan sungai. Hal ini diakibatkan tak adanya lagi tumbuhan hutan yang mampu menjadi filter bagi jutaan liter air hujan yang mencapai permukaan tanah.
Berpengaruh terhadap produktivitas pertanian secara luas. Banyak petambak yang mengeluhkan berkurangnya hasil tambak dalam beberapa tahun belakangan ini. Tak jarang mereka harus memanen ikan dan hasil tambak lebih cepat dari waktu panen seharusnya. Hal ini dikarenakan curah hujan yang tinggi menyebabkan adanya gangguan bagi perkembangan hewan air budidaya mereka.
Petani juga seringkali harus mengalami gagal panen akibat sawah terendam air hujan dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman padi menjadi rusak. Atau terjadinya lonjakan hama di persawahan.
Tingginya populasi hama tersebut, satu pertanda bahwa terganggunya ekosistem akibat adanya satu atau beberapa spesies yang populasinya berkurang secara drastis bahkan mungkin sudah mengalami kepunahan. Hal ini dapat diakibatkan berkurangnya luasan hutan sebagai habitat alami beraneka flora dan fauna.
Mengingat besarnya kerusakan ekosistem yang ditimbulkan dari deforestasi, maka sudah saatnya adanya sinergi yang erat antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Kita sebagai anggota masyarakat harus lebih peka dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem hutan.
Salah satunya dengan menggunakan produk hasil olahan kayu dengan se efisien mungkin. Hal lain yang dapat kita lakukan adalah membuat komunitas-komunitas masyarakat peduli lingkungan, sehingga dari komunitas kecil tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat agar lebih ramah terhadap kelestarian lingkungan ekosistem.
*) Pemerhati Lingkungan di Kabupaten Paser Kaltim
BACA JUGA