Krisis Moralitas Runtuhkan Integritas Institusi Polri

 

Oleh: Muchtar Amar, SH*

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sedang mendapat beberapa ujian berat bagi institusi Polri. Seolah ujian tak akan berujung, Listyo bak sebuah ‘bola’ bulu tangkis yang kemudian dipukul keatas net, lalu bola itu pun dimash kembali ke bawah, ke kanan, kiri, ke depan maupun ke belakang. Perumpamaan itu adalah kondisi yang saat ini dihadapi mantan ajudan Presiden Jokowi itu.

Dari berbagai penjuru negeri terus bermunculan, krisis moralitas dan krisis loyalitas inklusif oknum bukan pada institusi Polri, bahkan institusi lain.

Kemewahan yang kerap ditampilkan para oknum Polri rupanya sulit untuk dianggap lumrah. Tak masalah jika oknum-oknum itu yang memang sudah kaya sebelum menjadi pejabat. Namun yang jadi soal adalah kekayaan selanjutnya itu diraih dengan cara yang tak wajar yang menyalahgunakan kewenangan yang merugikan publik.

Jika sudah tidak wajar cara perolehannya itu, bagaimana pula pertanggungjawabannya ke publik secara duniawi dan di akhirat kelak kepada Tuhan?

Fenomena ini kian parah dan terjadi begitu masif. Keseimbangan memelihara ‘nature of god’, yaitu fitrah kita sebagai manusia semakin terkikis dengan ambisi duniawi, padahal tidak ada krisis selain krisis moralitas.

Karena sifat manusia bersifat lemah, berkeluh kesah dan tergesa-gesa, sehingga wajar ketika publik menyuarakan keluhannya ke pemerintah yang memerintah.

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Jika yang disuarakan publik itu secara moralitas inklusif patut diperjuangkan, tidak wajar kepala pemerintahan diam saja.

Respon Presiden Jokowi harus disikapi Kapolri dengan bijaksana pula bersama jajarannya, demikian pula oleh institusi lainnya,” terang Amar.

Penulis berharap jangan sampai publik menyuarakannya kepada sang khalik, sebab itu akan sangat berbahaya. Regulasi pemerintah partisipatif sebagai norma-norma untuk mengatur tatanan ke arah yang lebih baik, nilai-nilai tamak, serakah saja dianggap tidak baik oleh publik karena timpang.

Maanusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan antara satu dan lainnya, maka janganlah loyalitas ekslusif itu dibudayakan, ini akan terus memberi pengaruh buruk buat bangsa dan negara.

Penulis tak menampik bahwa harta, tahta dan wanita secara ekslusifitas berdampak buruk bukan hanya terhadap diri kita sendiri, tapi berdampak luas ke masyarakat.

Kalau sekelas pejabat tinggi dengan mudahnya terlibat pembunuhan, narkotika, perjudian, kekerasan seksual dan lain sebagainya, kan tidak menutup kemungkinan bisa terjadi juga di jajaran bawahannya.

Praktik ini harus terus diperangi, jika tidak negara ini dipertaruhkan keberadaannya, karena menyangkut integritas moral anak cucu kita di masa mendatang, cukup di era kolonial, dulu kan semua potensi alam melimpah ruah, perbedaan kaya miskin, kuat lemah jangan dieksploitasi, harus bijak diharmonisasi.

 

*Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum di Kabupaten Paser

Tinggalkan Komentar