Memaknai Idul Adha dalam Perspektif Tasawuf
Oleh: Pahriansyah*
Dr. Zainun Kamal, M.A dalam tulisannya berjudul Tasawuf dan Tarekat: Ajaran Esoterisme Islam menjelaskan ihwal tasawuf oleh kaum orientalis menyebutkan sufisme adalah jenis ajaran yang khusus dipakai untuk mistik Islam dan tidak dipakai untuk agama-agama lain.
Tasawuf atau sufisme adalah suatu cara untuk mensucikan diri yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk kepentingan diskusi.
Apa yang berkaitan dengan proses penyucian tersebut tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mengutip ucapan para sufi besar “Apa yang dapat dikatakan, bukanlah tasawuf.” Atau seperti yang dikatakan oleh Maulana Rumi, “ Apa pun yang aku katakan dan ungkapkan megenai cinta, ketika aku mengalaminya sendiri, aku malu atas perkataan itu.”
Tasawuf adalah “pengetahuan hudhuri” mengenai realitas absolut. Pengetahuan ini hanya bisa diperoleh melaui “mata hati”, dengan cara pencerahan, iluminasi (penerangan) dan kontemplasi (renungan).
Senada dengan itu Prof. Dr. M Arrafie Abduh mengatakan dalam ajaran tasawuf/sufisme dirumuskan dalam empat tingkatan untuk menjadi seorang yang takwa yaitu melalui syari’at, tarekat, hakikat dan makrifat. Dimana keempat tingkatan tersebut berkaitan antara sisi lahiriah dan batiniah, antara eksoterisme dan esoterisme.
Filosof Islam, Mulla Sadra membahasakan bahwa ada dua cara untuk menemukan Tuhan yaitu: pertama adalah cara filosofis, dengan metode penalaran rasional. Kedua dengan cara al-‘ilm al-ladunny, dengan jalan ilmu laduni, yang kita lakukan tidak lewat penalaran, tapi dengan kepasrahan kita sepenuhnya kepada Allah SWT.
Selanjutnya pula Mulla Sadra menyebutkan empat perjalan menuju Tuhan diantaranya pertama perjalanan dari makhluk menuju Al-Haq, kedua perjalanan dari Al-Haq kepada Al-Haq, ketiga adalah perjalanan dari Al-Haq menuju al-khalaq dengan Al-Haq, keempat adalah perjalanan dari al-khalq menuju Al-Haq bil Haq.
Dalam tinjauan sosiologi agama setidaknya ada tiga cara untuk mendekatkan diri atau menuju kepada Tuhan yaitu: monoteisme etis, sacramental, dan sacrificial. Islam disebut sebagai agama monoteisme etis yaitu agama yang mengajarkan tentang tauhid dan taqarrub (pendekatan kepada Allah Swt melalui amal saleh).
Adapun agama sacramental yang mengajarkan keselamatan diperoleh seseorang hanya dengan mengikuti ritual suci, sedangkan agama sacrificial (sesajen) mengajarkan pendekatan kepada Tuhan melalui sajian-sajian, pengorbanan binatang atau bahkan manusia.
Ajaran agama Islam dalam hal ini melakukan kurban sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah Swt, pada hari raya idul adha tidak dapat disebut sebagai sacrificial (sesajen), karena idul adha mewujudkan tujuan hidup yakni bertakwa kepada Allah Swt.
Hal ini dipertegas melaui firman-Nya surah al-Hajj ayat 37 “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
Kurban (Idul Adha)
Secara bahasa Idul Adha dapat dimkanai, Id bermakna hari raya, sedangkan adha bermakna hewan sembelihan, dapatlah diartikan bahwa pada hari itu kita diperintahkan Allah untuk berkurban dengan menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Menukil dari kisah Nabi Ibrahim yang mendapat ujian dari Allah Swt untuk menyembelih putranya. Melaui mimpi yang berulang Nabi Ibrahim as mendapat perintah agar memenuhi janjinya, sebagaimana Tuhan bicara kepadanya di dalam mimpi “Penuhilah janjimu engkau berkata jika engkau mempunyai seorang putra, engkau akan mengurbankan untuk-Ku. Engkau harus memenuhi janjimu.”
Dari deskripsi nukilah tersebut kita bisa pahami bahwa Allah Swt menyeru kepada Nabi Ibrahim supaya menunaikan apa yang telah menjadi janjinya. Sehingga dengan perenungan yang mendalam akhirnya Nabi Ibrahim memutuskan untuk melaksanakan perintah tersebut tanpa ada kebimbangan dan keragu-raguan.
Tentunya perintah tersebut hanya bisa dilakukan, karena keduanya antara Nabi Ibrahim dan putranya sama-sama memilliki ketaatan, kepasrahan, dan ketulusan untuk melaksanakannya sebagai wujud dari penghambaan kepada Ilahi.
Oleh karena kepatuhan dan keikhlasan memenuhi perintah Allah Swt tersebut, Allah selamatkan keduanya. Sebagai manusia keduanya tidak akan mungkin bisa melangsungkan peristiwa bersejarah dalam agama tauhid tersebut selain izin dari Allah Swt.
Nilai Tasawuf: Berserah Diri
Seperti dikemukakan oleh ulama-cendikiawan Prof. Ali Yafie bahwa kajian tasawuf mencoba memperkenalkan mengenai apa yang dimaksud dengan diri manusia.
Selayaknya makhluk lainnya manusia terdiri aspek jasmani dan ruhani. Tapi lebih dari itu ruhani manusia terdiri lagi dari tiga unsur yang merupakan pontensi batin yang menggerakkan seluruh aktivitas dan dinamikanya. Unsur batin pertama ialah nafsu, kedua adalah akal fikiran, dan ketiga adalah hati nurai disebut qalb.
Keberserahan diri yang mutlak kepada Allah adalah bentuk pengakuan kehambaan pada sang Khalik. Dititik inilah seorang hamba menanggalkan segala ke-aku-an dan ke-ego-an dirinya. Merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah Swt. Dimana seorang hamba mengakui dengan keyakinan yang sebenar-benarnya akan eksistensi Ilahi. Tidak ada eksistensi lain selain eksistensi Ilahi.
Penyerahan diri secara totalitas juga merupakan pengungkapan ketidak berdayaan, kelemahan, dan kebergantungan seorang hamba kepada Tuhan-Nya.
Dalam surah al-Kautsar ayat 2, umat Islam diperintahkan Allah untuk melaksanakan salat dan berkurban. “Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” Penekanan pada kutifan ayat tersebut disebutkan karena Tuhanmu. Artinya hanya dilandasi semata-mata karena Allah.
Berkurban merupakan amal saleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Ilahi (taqarrub Ilallah).
Kedekatan pada Ilahi hanya bisa diraih manakala manusia bisa kembali ke hakikat dirinya. Muhammad Nur Jabir menuturkan bahwa hakikat manusia diketahui dari bentuk nafsnya.
Karena itu sebisa mungkin nafs senantiasa melakukan kebaikan dan kebajikan, sebab nafs akan menjadi kendaraan kembali menuju hakikat. Apabila nafs liar, tak terkendali, akan membawa manusia menuju kerendahan, juga akan membuat kejatuhan eksistensi.
Penyembelihan hewan ternak pada hari raya kurban sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat diri kita.
Pribahasa segala kesesatan dan keburukan berupa; kebodohan, kedengkian, keangkuhan, prasangka buruk, ketamakan, kemalasan, kecintaan dan ketertarikan pada hal-hal material yang memalingkan kita pada selain Allah dan inilah yang mesti kita sembelih dari diri kita tujuannya agar hati kita kembali suci dan murni serta dapat menerangi gelapnya hawa nafsu.
Melaui tamsil tersebut, dengan niat berkurban menjalankan perintah Allah kita juga mampu menyembelih segala rasa yang melekat didiri kita seperti takabur, riya, dan sum’ah baik ketika takbir berkumandang memutus urat leher hewan kurban atau disetiap keadaan.
Kembali pada tujuan utama bertasawuf adalah menundukkan dan mengalahkan keakuan atau keegoan diri, hal ini tidak boleh terlupakan oleh para salik, bukan justru membangun dan mengokohkannya menjadi singgasana sehingga membelenggu di dalam diri.
Diakhir penulis menyadur kembali dari kisah Nabi Ibrahim sejatinya hari raya kurban merupakan momentum untuk menyembeli “hewan ternak” yang telah beranak pinak dalam diri kita yang selama ini menjadi hijab antara diri kita dengan Sang Ilahi dengan demikian diri kita kembali dalam kesadaran spiritual, masuk ke dalam diri dan mengenal diri kita sesungguhnya.
Sebagaimana sebuah ungkapan menyatakan: ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbah’, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.” Semoga dapat menggapai ketakwaan dan menjadi insan yang takwa.
Wallahu A’lam. Selamat Idul Adha 1444 Hijriah.
*Penulis merupakan Guru SD Negeri 009 Samarinda Ilir
BACA JUGA