Menhut RI Lepas Liarkan Sebanyak 6 Orang Utan ke Hutan Kehje Sewen

orang utan
Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni didampingi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud secara resmi mengibarkan bendara menandai keberangkatan 6 orang utan yang dibawa Tim BOSF Samboja Lestari, Kukar, untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya di hutan kehje sewen, muara wahau, Kutai Timur, Kaltim, Selasa (22/4/2025).

Kutai Kerta Negara, Gerbangkaltim.com – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim bersama dengan Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) dan PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI)melepasliarkan 6 orangutan ke kawasan Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim. Pelepasliaran ke 27 kalinya ini bertujuan untuk menambah populasi orangutan yang ada di kawasan tersebut.

Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni didampingi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud secara resmi mengibarkan bendara menandai keberangkatan 6 orang utan yang dibawa Tim BOSF Samboja Lestari, Kukar, untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya di hutan kehje sewen, muara wahau, Kutai Timur, Kaltim, Selasa (22/4/2025).

6 orang utan yang dilepasliarkan ini masing-masing 3 jantan yakni Bugis 33 tahun, Sie-Sie 31 tahun/ dan Uli 28 tahun/ dan 3 betina yakni Siti 35 tahun, Mori 16 tahun, Mikhayla 10 tahun.

Sebelum dilepasliarkan, ke 6 orangutan yang dikelola oleh Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOSF) harus melewati tahapan rehabilitasi dan pendidikan di Sekolah Hutan. Setelah lulus Sekolah Hutan, mereka akan dipindahkan ke pulau pra-pelepasliaran untuk mempersiapkan diri lebih lanjut sebelum kembali ke habitat aslinya.

Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni juga akan dijadwalkan melepas liarkan langsung Mikhayla orangutan betina yang berumur 10 tahun yang sudah menjalani rehabilitasi sejak tanggal 12 Januari 2025.

Sebelumnya Mikhayla diselamatkan dari jalan poros Sangatta–Bengalon, di area pertambangan PT. Kaltim Prima Coal dengan tubuhnya cukup kurus. Dimana, tim animal welfare dan medis memutuskan untuk menaikkan berat badannya dengan memberikan suplemen serta obat cacing. Setelah menjalani tiga bulan masa rehabilitasi. Mikhayla akhirnya siap untuk dilepasliarkan ke tempat yang lebih aman yaitu di Hutan Kehje Sewen.

Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni mengatakan, kerjasama yang erat, kuat, kordinatif dan konsulidatif dari berbagai pihak mulai dari Pemerintah Pusat, Kemenhut, BKSDA Kaltim, Gubernur Kaltim, Bupati bersama Yayasan BOSF yang memiliki komitmen yang kuat dalam penyelamatan orang utan, termasuk pihak swasta PT RHOI dan April.

“Jadi semua pihak ini secara serius berkomitmen untuk menyelamatkan orang utan, sebagai salah satu satwa yang terancam karena desakan pembangunan dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oknum manusia dan termasuk bencana alam seperti kebakaran hutan,” ujarnya.

Dikatakannya, ada kebahagian karena akan melakukan pelepasliaran 6 orang utan yang akan kembali ke habitat aslinya, namun disisi lain hal ini akan menjadi tantangan bagi Kemenhut untuk lebih serius lagi menjaga kelestarian hutan, ekosistem dan habitat orang utan dan satwa lainnya, sehingga tidak banyak seharusnya yang direhabilitasi dan berikan pendidikan karena harusnya orang utan dan satwa lainnya ini seharusnya berada di hutan rimba yang merupakan habitatnya.

“Upaya kita untuk menjaga populasi orang utan ini tidak semakin menyusut, salah satunya kita akan memperketat pelepasan kawasan, dimana ada norma-norma yang harus diikuti, dimana pembangunan itu memang tidak boleh terhenti karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, yang diperlukan bangsa ini, tapi saat bersamaan kita juga harus memastikan alam harus Lestari, sehingga tiga elemen ini harus kita kelola baik mulai pembangunan, hutan Lestari dan kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Sementara itu, CEO Yayasan BOSF yang juga Direktur utama PT. Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) Jamartin Sihite mengatakan 90 persen orangutan di pusat rehabilitasi seluas 1.800 hektar tersebut berasal dari konflik, seperti dipelihara ilegal, tersingkir akibat pembangunan, atau ditemukan dalam kondisi lemah.

“Sebelum dilepasliarkan, mereka menjalani rehabilitasi intensif di Samboja Lestari untuk memastikan kesehatan dan kemampuan bertahan di alam liar. Kami tidak asal mengembalikan ke hutan; ini soal reputasi bangsa dalam mengelola satwa dilindungi,” ujarnya.

BOSF saat ini merawat sekitar 350 orangutan yang berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, dengan 113 di antaranya tidak dapat dilepasliarkan karena kondisi kesehatan atau ketidakmampuan beradaptasi di alam liar.

Untuk itu, BOSF berencana membangun pulau-pulau konservasi seluas minimal 5 hektar dengan vegetasi pohon buah sebagai tempat tinggal yang menyerupai habitat alami. Biaya pembuatan pulau didanai melalui penggalangan dana dari donor nasional dan internasional.

“Sementara Pemerintah mendukung melalui regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang memungkinkan area rehabilitasi menjadi zona konservasi,” ucapnya.

Di sisi lain, untuk membuat habitat orangutan, menurut Jamartin, memerlukan kebijakan negara dalam menetapkan kawasan konservasi dan mengizinkan unit bisnis seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebagai lokasi pelepasliaran.

“Kami mengusulkan pemanfaatan pulau-pulau kosong di Sungai Mahakam atau Teluk Balikpapan untuk menampung orangutan yang tidak dapat kembali ke hutan,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala BKSDA Kalimantan Timur, M. Ari Wibawanto mengatakan, dalam tiga tahun terakhir (2022–2024), pihaknya telah menangani 71 kasus interaksi negatif antara manusia dan orangutan. Dimana, dari jumlah tersebut, 52 individu di translokasi ke habitat aslinya, dan 19 individu direhabilitasi. Sedangkan pada periode Januari hingga Maret 2025, sebanyak 28 individu diselamatkan, dengan 20 di translokasi dan 8 direhabilitasi.

“Lokasi translokasi meliputi Taman Nasional Kutai, Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, dan kawasan konsesi RHOI di Hutan Kehje Sewen,” ujarnya.

Konflik manusia-orangutan sebagian besar terjadi di wilayah pembangunan, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman, dengan hanya sebagian kecil di kawasan hutan produksi.

Untuk meminimalkan konflik, BKSDA Kaltim bekerja sama dengan lima lembaga konservasi, termasuk BOSF dan Centre for Orangutan Protection (COP), serta melibatkan masyarakat lokal dalam edukasi dan pemantauan pasca-pelepasliaran ini.

 

Tinggalkan Komentar