Menjelang Pemilu 2024, Perebutan simbol tidak akan lagi efektif
Jakarta, GERBANGKALTIM.COM- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengadakan diskusi Media bertajuk “membahas Isu Politik Aktual” Acara ini bertujuan untuk membahas isu-isu politik terkini dan berbagai dinamika dalam proses menuju Pesta Demokrasi di 2024 , Dalam acara yang diselenggarakan di Kantor Formappi Matraman di Jakarta Timur, (6/10/2023). Diharapkan terjadi diskusi media yang relevan dan mendalam hingga masyarakat mengerti bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi persaingan politik yang semakin menghangat.
Dalam diskusi yang diselenggarakan secara hybrid secara luring dan daring melalui media chanel youtube Formappi ini, Dr. Ilmu Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo sebagai pembicara utama menyoroti tentang fenomena perubahan dalam cara masyarakat memilih pemimpin.
Ia mengungkapkan bahwa strategi politik pencitraan,yang mengetengahkan identitas dan simbol simbol dalam Pilpres 2024, kemungkinan besar tidak akan efektif lagi.
Ini dikarenakan masyarakat kini memiliki pola pikir yang berubah. “Politik citra akan habis dengan sendirinya, karena rakyat punya kecerdasan luar biasa dan rakyat bosan akan pengagungan Identitas tanpa hasil yang jelas dan bermanfaat bagi rakyat” tegas benny
Lebih lanjut Menurutnya, ada satu tolak ukur yang sangat dalam dalam menentukan pemimpin, yaitu pentingnya pemimpin yang memiliki “roso,” yang berarti “rasa” atau empati terhadap rakyat.
“Pemimpin yang punya roso adalah mereka yang berusaha untuk bersama rakyat. Mereka memiliki kedekatan, komunikasi yang tidak kaku, dan tidak ada resistensi dalam interaksi mereka,” ungkap Staff Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.
Lebih lanjut, Benny Susetyo mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan “roso” dalam memilih pemimpin. Ia percaya bahwa pemimpin yang memiliki “roso” akan lebih mampu memahami dan merespons kebutuhan serta aspirasi rakyat dengan lebih baik.
“Karena itu yang harus dilihat rakyat kecil, yaitu roso. Bongkar budaya kepalsuan. Pemimpin itu lahir dari sebuah gagasan, tentang apa yang menjadi keluh kesah rakyat. Di situ ada semacam daya magis,” tambah Benny.
Menutup paparannya, Benny Susetyo menegaskan bahwa kesadaran rakyat untuk menjadi pemilih yang kritis semakin terbentuk melalui informasi yang mereka peroleh melalui media digital dan dialog publik. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat akan lebih cenderung memilih pemimpin yang memiliki akar dan kedekatan emosional dengan rakyat, serta memiliki kemampuan untuk membaca kebutuhan dan keprihatinan mereka, memberikan solusi yang tepat, dan menarik hati serta mendapatkan simpati rakyat.
Diskusi ini menjadi ruang berharga untuk mendalami pemahaman tentang bagaimana masyarakat Indonesia seharusnya memilih pemimpin yang akan memimpin mereka ke masa depan yang lebih baik. Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang “roso” dan kepemimpinan yang autentik, diharapkan Indonesia dapat terus bergerak maju sebagai negara demokratis yang kuat dan memiliki daya saing. (*/gk)
BACA JUGA