Menteri Siti Resmikan Taman Nasional Ke57 Membramo Foja Papua

Kementerian KLH
Menteri KLH RI, Nurbaya Bakar didampingi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Satyawan Pudyatmoko dan Duta Besar Norwegia Rut Krüger Giverin melalukan pemukulan tifa menandai resminya Taman Nasional ke 57 Membramo Foja di Papua, Selasa (15/10/2024).

Nusantara, Gerbangkaltim.com – Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup secara resmi meresmikan telang mengalih fungsikan Suaka Margas Satwa Membramo Foja yang terletak di Papua menjadi Taman Nasional ke 57 di Indonesia dengan lua kawasan 1,7 juta hektar dengan beragam ekosistem dan ribuan spesies tanaman serta satwa liar.

Perubahan ini dilatar belakangi kekayaan alam dengan keragaman ekosistem dan spesies yang luar biasa, serta untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat serta untuk memudahkan akses terhadap pembangunan diantaranya infrastruktur jalan, telekomunikasi, listrik, dan lainnya maka 8 Bupati dan beberapa masyarakat adat dan masyarakat kampung merekomendasikan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja menjadi Taman Nasional.

Menteri KLH RI, Nurbaya Bakar mengatakan, Indonesia dianugerahi kekayaan alam pada beberapa level atau platform baik di ekosistem, spesies, maupun genetic. Kekayaan ini tentu saja wajib dikelola dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana serta berkeadilan.

“Adil untuk kelestarian alam dan adil juga untuk bisa mencapai kesejahteraan material bagi masyarakat,” ujarnya , dalam sambutannya pada Peresmian Taman Nasional Ke 57 Mamberamo Foja, Papua, di Mentawir, IKN, Kabupaten PPU, Kaltim, Selasa (15/10./2024).

Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, secara intensif sudah mulai dilakukan sejak 1980-an. Menurut Siti, ditandai dengan 5 taman nasional pertama yakni Taman Nasional Gunung Laoser, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, Komodo dan Baluran.

Selain itu, juga untuk aksentuasi tingkat global telah disepakati World Conservation Strategy yang menjadi panduan di dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia yaitu dengan prinsip tiga pilar. Pertama sistem penyangga kehidupan (Life Sport System), kedua pengawetan keanekaragaman hayati dan ketiga memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Dikatakannya, Indonesia saat ini memiliki sebanyak 573 unit kawasan konservasi yaitu 211 cagar alam, 85 suaka marga satwa, 49 taman hutan raya, 134 taman wisata alam, 10 unit taman buru, 27 unit KSA/KPA dan 57 unit Taman Nasional.

“Termasuk Taman Nasional yang kita deklarasikan ini, di Membramo yang ke 57,” ucapnya.

Atas inisiatif Komisi IV DPR RI, katanya, telah terjadi perubahan UU Nomo 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dilakukan untuk penguatan SDA dan Ekosistem. Dimana telah diundangkan di tanggal 7 Agustus dengan UU Nomor 32 Tahun 2024.

“Melalui UU ini, Pemerintah Indonesia secara serius dan menegaskan untuk menguatkan tiga pilar konservasi,” tegasnya.

Kemudian ada juga penguatan konservasi keanekaragaman hayati melalui reservasi, selanjutnya penguatan penegakan hukum dan sanksi, penguatan pendanaan dan pelibatan masyarakat dalam upaya-upaya konservasi SDA dan Ekosistemnya.

“Pada banyak kesempatan saya selalu menyampaikan bahwa kawasan konservasi adalah benteng terakhir dari pertahanan hutan dan keanekaragaman hayati yang kita miliki,” ucapnya.

Oleh itu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, lanjutnya, KLHK secara serius dan konsisten melakukan program dan kegiatan inovasi, kolaborasi, kebijakan dasar dan operasional serta transformasi kebijakan dalam upaya memperkuat dan optimalisasi pengelolaan kawasan hutan.

“Salah satu fungsi kawasan konservasi yang menjadi perhatian adalah Taman Nasional, dengan beberapa pertimbangannya yaitu dikelola satu unit organisasi yakni balai besar konservasi atau balai taman nasional,” jelasnya

“Sehingga dengan pendekatan ini, manajemen unit lebih baik, efektif, di dalam pengelolaan termasuk SDM, anggaran, sarana prasarana termasuk norma standar pedoman dan kriteria berdasarkan ini, maka dengan menggunakan MET, seluruh taman nasional Indonesia telah memiliki nilai diatas 75 persen artinya pengelolaannya efektif, terimakasih untuk seluruh pengelola dan masyarakat di Indonesia,” tambahnya.

Selanjutnya, katanya, Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, dimana dinamika pengelolaan sangat terkait dengan kondisi ekologi, sosial, dan budaya masyarakat serta kebijakan politik pembangunan nasional dan daerah. Dinamika ini, diadaptasikan dalam bentuk sistem zonasi, misalnya untuk kepentingan dan kebutuhan ekonomi sosial dan budaya masyarakat adat atau lokal dapat diakomodir pada zona tradisional dan religi.

Dan untuk kepentingan pembangunan nasional dan daerah seperti sarana transfortasi, Listrik, Telkom dapat diakomodir pada zona khusus. Selanjutnya, Taman Nasional ini menjadi atensi global, dan mendapatkan perhatian khususnya di dunia internasional sehingga tentu saja akan mendapatkan atensi dan dukungan yang cukup.
“Salah satu bentuk kongkretnya adalah Bezos Earth Fund philanthropic sebagai salah satu lembaga funding philanthropic terbesar di dunia, untuk lingkungan dan konservasi yang telah memiliki MoU bersama KLHK, dimana ada target-target kita dalam pengelolaan konservasi,” jelasnya.

Dimana ini untuk kepentingan generasi sekarang dan akan datang, dan ditegaskan kembali hal ini bukan saja untuk Indonesia tapi juga untuk dunia.

“Jadi atensi jelas dan mudah-mudahan dukungan juga kongkret,” ucapnya.

Dan yang paling penting adalah, katanya, taman nasional ini menjadi pendorong utama untuk kemajuan wilayah. Dimana dalam arahan kepada kepala-kepala konservasi, selalu mengingatkan akan menjadikan taman nasional dekat sebagai atau mendukung pusat-pusat pertumbuhan wilayah. Dengan demikian, maka taman nasional memiliki manfaat yang baik untuk kesejahteraan masyarakat.

“Ini sangat-sangat penting, tentu saja ada NSPKnya,” jelasnya.

Taman Nasional Membramo Foja yang terletak di Provinsi Papu, Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang mencakup 12 wilayah administrasi kabupaten seluas 1,7 Juta Hektar dideklarasikan di IKN.

“Saya sudah membaca semua rekomendasi dan harapan, termasuk peran penting masyarakat adat dalam kehadiran taman nasional ini, khususnya dalam konservasi,” jelasnya.

Perubahan fungsi dari suaka margasatwa menjadi taman nasional, katanya, dimana manfaatnya harapan pemerintah daerah untuk dapat diberikan bantuan, kemudahan dan pembangunan sarana prasarana menjadi dapat koridor dan arah untuk sesegera mungkin bisa diwujudkan.

“Jadi ada alasannya harus masuk, harus bisa dilakukan pembangunan di lokasi taman nasional tersebut melalui zona khusus. Manfaat lainnya, taman nasional sangat adaptif untuk pemanfaatan dan pengembangan wisata alam. Kalau ada ekowisata ditempat tersebut, maka daerah dan adat juga menjadi pelaku yang sangat penting, dan pesan itu jelas sekali, kalau dilihat alamnya sangat indah mungkin beberapa lokasi spot wisata bisa dibangun,” tukasnya.

Dan semua bisa jalan, antara pelestarian dan ekonomi masyarakat, Siti menambahkan, sudah ada buktinya seperti di Gunung Gede Pangrango, Bromo Tengger, laoser.

Manfaat lainnya, dimana ada sebanyak 30-35 suku dan sub suku di Taman Nasional Mamberamo Foja, maka untuk kepentingan nasional dalam pengembangan budaya dan ekonomi seperti berkebun, berburu, menangkap ikan, mencari sagu dan lain-lain juga ada wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai tempat yang dihormati karena asal usul warga setempat atau kampung tua.

“Terhadap ini dapat diakomodir dalam pengelolaan taman nasional dalam zona tradisional atau religi, untuk itu kita semua berharap dengan perubahan fungsi suaka marga satwa menjadi taman nasional, ini dapat betul-betul memberikan manfaat,” tutupnya

Sebelumnya, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Satyawan Pudyatmoko mengatakan, kawasan Mamberamo Foja, tepatnya pada tahun 1982 ditunjuk sebagai suaka margasatwa dengan luas 1,01 juta hektar, kemudian pada tahun 2016 ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Mamberamo Foja dengan luas sekitar 1,76 juta hektar dengan mandat pengelolaan untuk menjaga ekosistem hutan payau dan hutan dataran rendah yang merupakan habitat satwa-satwa liar Papua, khususnya buaya air tawar (Crocodylus novaguinea).

“Secara administrasi kawasan Mamberamo Foja berada pada (1) Provinsi Papua, meliputi kabupaten: Mamberamo Raya, Keerom, Jayapura, Sarmi dan Waropen, (2) Provinsi Papua Tengah, meliputi kabupaten: Puncak dan Puncak Jaya, (3) Provinsi Papua Pegunungan, meliputi kabupaten: Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, dan Yalimo,” ujarnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian, teridentifikasi 9 tipe ekosistem alami dari ketinggian 0 – 2.193 mdpl yaitu: ekosistem sungai, ekosistem danau, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan rawa, ekosistem riparian, ekosistem hutan pamah, ekosistem hutan pegunungan bawah, dan ekosistem hutan pegunungan atas.

Sedangkan untuk spesies satwa liar, tercatat 225 jenis burung, 69 jenis mamalia, termasuk di dalamnya rusa (Cervus timorensis), kangguru pohon (Dendrolagus sp), berbagai jenis Kuskus, buaya rawa (Crocodylus novaeguineae) dan buaya muara (Crocodylus porosus), juga dijumpai 217 jenis kupu-kupu, 60 jenis herpetofauna, dan 56 jenis serangga air. Sementara untuk jenis tumbuhan yang teridentifikasi sekitar 550 jenis tumbuhan di luar palem-paleman, 24 jenis palem-paleman, berbagai jenis anggrek, liken, lumut, paku-pakuan, dan rotan.

“Sampai saat ini diperkirakan masih banyak satwa liar dan tumbuhan yang belum teridentifikasi,” jelasnya.

Kawasan ini juga membentang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamberamo. DAS Mamberamo mengalir dari dataran rendah di bagian selatan ke arah pantai utara Papua dan bermuara di Samudera Pasifik. Sistem Sungai Mamberamo di bagian hulu terbentuk dari dua anak sungai utama, yakni Sungai Tariku (Sungai Idenburg) dan Sungai Taritatu (Sungai Rouffaer). Kawasan Mamberamo sebagian besar masih berupa hutan dengan tutupan vegetasi lebih dari 80%.

“Kawasan ini merupakan bagian penting yang mewakili kawasan lahan basah (rawa) di bagian utara Papua,” ucapnya.

Selain berperan sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan ini juga sangat penting untuk kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat. Tercatat bahwa terdapat sekitar 30 – 35 suku dan sub suku yang berada dalam kawasan ini.

“Kawasan ini oleh masyarakat adat menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan masyarakat lokal serta menjaga keberlanjutan kearifan tradisional terutama masyarakat adat,” ungkapnya.

Dalam kehidupan masyarakat lokal, membedakan ruang-ruang kehidupannya, setidaknya menjadi 5 wilayah, yakni (1) wilayah perburuan hewan air, yang berpusat di sekitar Sungai Mamberamo; (2) wilayah pencarian kayu, yang lokasinya ditentukan oleh pimpinan masyarakat adat; (3) wilayah untuk menangkap ikan, yang penentuan lokasi tempat penangkapan diatur oleh adat; (4) wilayah sakral, yang merupakan tempat suci dan memiliki aura mistis yang kuat. Pada wilayah ini tidak semua orang dapat masuk; (5) wilayah berkebun dan berladang, yang merupakan lahan untuk bercocok tanam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Dilatar belakangi kekayaan alam dengan keragaman ekosistem dan spesies yang luar biasa, serta untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat serta untuk memudahkan akses terhadap pembangunan diantaranya infrastruktur jalan, telekomunikasi, listrik, dan lainnya maka 8 Bupati dan beberapa masyarakat adat dan masyarakat kampung merekomendasikan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja menjadi Taman Nasional.

Inisiasi perubahan fungsi ini secara legal formal mulai dilakukan pada tahun 2014 dengan mengumpulkan dukungan/rekomendasi dari masyarakat dan pemerintah kabupaten.

Pada tahun 2019 telah dilakukan Evaluasi Kesesuaian Fungsi (EKF) oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pada bulan Oktober tahun 2024 telah dilakukan kajian Tim Terpadu. Secara keseluruhan baik rekomendasi, hasil EKF dan Kajian Tim Terpadu merekomendasikan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja menjadi Taman Nasional.

“Proses perubahan fungsi ini sudah dimulai 10 tahun lalu dan telah mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku,” terangnya.

Dengan telah berubahnya fungsi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja menjadi Taman Nasional diperlukan unit pengelola teknis taman nasional. Untuk itu kami akan segera mengusulkan pembentukan pengelola taman nasional dimaksud. Namun demikian, sebelum terbentuknya unit pengelola dimaksud maka pengelolaan taman nasional, kami tugaskan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua untuk melakukan pengelolaan taman nasional tersebut.

“Kami menyadari bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidaklah ringan, karena itu dalam mengelola kawasan taman nasional, Balai Besar KSDA Papua diharapkan mampu untuk membangun kerjasama atau kolaborasi dengan para pihak antara lain pemerintah provinsi dan kabupaten, BUMN/BUMD, swasta, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama, media, dan lainnya,” jelasnya.

Salah satu strategi yang ditekankan dalam pengelolaannya adalah pelibatan peran serta masyarakat adat. Masyarakat adat sejatinya menjadi subjek dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat dan kelestarian keanekaragaman hayati dapat beriringan, sebagaimana visi pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia yang tertuang pada dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plans (IBSAP) 2025–2045, yaitu “Hidup selaras dengan alam untuk keberlangsungan seluruh bentuk kehidupan di Indonesia”.

“Pada akhirnya, saya berharap dengan telah ditunjuknya taman nasional di Mamberamo sebagai taman nasional ke-57, kawasan ini dapat memberi manfaat terhadap pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya serta pembangunan di Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan,” tutupnya.

Tinggalkan Komentar