Pelajaran dari ‘Kericuhan’ Anggota Polisi Vs Paspampres

 

Oleh ; Ropii Wartono

KERICUHAN kecil antara salah satu anggota pasukan pengamanan presiden (paspampres) dengan anggota kepolisian yang bertugas menjaga kawasan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jakarta beberapa waktu lalu telah menjadi trending topic di jagat maya.

Meski kasus itu sudah dinyatakan selesai dengan permintaan maaf dari Kapolres Jakarta Barat kepada Komandan Paspampres namun peristiwa itu menyisakan sebuah pertanyaan, kenapa sikap polisi sedemikian ‘garang’ ketika menghadapi perilaku masyarakat saat ini..?

Salah satu pernyataan bijak yang bisa menggambarkan pekerjaan polisi adalah bahwa polisi adalah profesi yang bekerja dalam bayang-bayang stres. Kenapa demikian, ?

Sejak polisi berpisah dengan TNI ( dulu ABRI ), watak polisi sudah berubah dari militeristik menjadi berwatak sipil.

Namun demikian, meski sudah berwatak sipil, dalam bekerjanya polisi masih menerapkan sistem komando sepertinya halnya militer.

Polisi bergerak karena adanya rangkaian perintah dari atasan mereka. Dalam sistem komando, perintah adalah perintah (Befehl ist befehl). Inilah salah satu sumber stres personel polisi.

Faktor pekerjaan polisi yang penuh resiko juga ikut berkontribusi menjadi sumber stres anggota polisi.

Pekerjaan polisi selalu bersinggungan dengan masyarakat yang beraneka ragam karakter. Dari orang berwatak baik, jahat maupun komplotan penjahat yang membuat resah masyarakat.

Kondisi lingkungan dengan berbagai karakter masyarakat ini ikut membentuk karekater polisi. Karena itulah jika ingin melihat karakter polisi lihat karakter masyarakatnya. Dengan bahasa lain begitu masyarakat,begitu pula polisinya.

Di lingkungan masyarakat yang berkarakter keras, maka secara otomatis perilaku keras akan terlihat dari sikap polisi di lapangan. Apalagi dalam situasi seperti saat ini pandemi COVID-19, dengan berbagai persoalan di dalamnya yang membuat masyarakat mudah marah, frustasi hingga memaksa melanggar aturan.

Tentu kondisi ini juga mempengaruhi kerja polisi di lapangan. Bagi polisi ini memang dilematis, di satu sisi polisi harus humanis, namun sisi lain polisi juga harus tegas menghadapi kondisi masyarakat saat ini.

Secara undang-undang, memang polisi diberi kewenangan kekuasaan seperti menghentikan orang, memeriiksa dan menggeledah. Termasuk dalam kasus polisi memeriksa dan menggeledah anggota paspampres yang memicu protes sejumlah persoinil paspampres hingga ‘menggeruduk’ markas Polres Jakarta Barat.

Dalam praktek di lapangan, memang tidak segampang seperti membalikkan telapak tangan. Jika tidak hati-hati, penerapan kewenangan polisi rentan tergeliincir pada sikap perilaku polisi yang berlebihan sehingga menimbulkan masalah atau perlawanan apalagi jika yang dihadapi adalah institusi seperti TNI.

Dari kasus di atas , ini menjadi perenungan bagi anggota polisi di lapangan bahwa dalam melaksanakan penerapan hukum (melalui kewenangan yang dimilikinya) itu tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, ada pergulatan sosilogis dan kemanusiaan di sana. Karena itulah pimpinan Polri selalu mewanti-wanti anggotanya ketika berhadapan dengan masyarakat selain ketegasan juga tetap mengedepankan sikap humanis. (***)

Ropii Wartono, pegiat LSM Marka/pernah aktif di Indonesia Police Watch (IPW)

Tinggalkan Komentar