Pentingnya Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum Merdeka
Oleh: Restu Aulia, S.Pd.I
KURIKULUM Merdeka masih dipahami sebagai kebebasan guru mengajar untuk mengembangkan keterampilan pengajaran agar tercapainya peserta didik yang berpikir kritis dan mandiri. Diantaranya pengembangan literasi (membaca dan menulis) menjadi projek.
Konsep tersebut di istilahkan P5 (Proyek Penguatan Profile Pelajar Pancasila).
P5 adalah proses pembelajaran berbasis projek yakni pembelajaran yang memaksimalkan pendekatan kelas yang dinamis dimana setiap peserta didik dapat secara aktif mengekplorasi masalah dan tantangan yang mereka lihat di dunia nyata untuk kemudian dicari solusi dengan cara yang beragam untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam.
Untuk menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dikaji maka P5 memberi ruang lebih untuk menggunakan berbagai lintas disiplin ilmu sebagai sumber referensi.
Nilai-nilai Pancasila yang dikembangkan (1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, (2) Berkebinekaan global, (3) Bergotong royong, (4) Kreatif, (5) Bernalar kritis, dan (6) Mandiri.
Namun, kenyataannya selama menerapkan kurikulum merdeka yang sudah terlealisasikan selama 1 tahun di mulai dari kelas 7 untuk tingkat SMP. Ada banyak pointering pertanyaan yang belum terjawab dan bahkan belum dipahami. Di antaranya keterkaitan
materi ajar, perangkat administrasi
Rumusan program-program P5 yang terintegrasi pada nilai-nilai keagamaan dalam setiap kegiatannya ?
Kemudian, apa yang menjadi dasar Moderasi Beragama di kurikulum Merdeka ?
Pertanyaan ini perlu penyesuaian kurikulum merdeka dengan kondisi sekolah yang belum merata hingga ke sekolah di wilayah pedesaan. Terlebih lagi adanya istilah-istilah TP, ATP, dan sebutan lainnya.
Padahal esensi nya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Jika merujuk pada Pancasila maka sila pertamanya tentang agama, jika kemudian kenyataan di lapangan agama sering dinomor sekian kan, maka sebenarnya P5 ini belum berhasil. Setiap daerah bisa saja berbeda tergantung dengan komitmen pemerintah dan dinas terkait, serta tentu juga guru dan sekolah.
Untuk saat ini sepertinya masih banyak pada pemikiran perorangan saja. Kegiatannya belum banyak menyentuh begitu pula dengan materinya yang masih banyak mengadopsi dari materi lama.
Berbicara modernasi beragama perlu penelitian. Karena fakta objektifnya tidaklah berbanding lurus.
Mungkin sah saja jika ada yang berpandangan begitu.
Asalkan selagi yang dimoderasi bukan agama orang. Makna moderat kan tengah – tengah. Tidak ke kiri, tidak juga ke kanan, tidak ke timur, tidak juga ke barat. Intinya maksud pemerintah adalah Islam yang rahmatan lil ‘aalamin, tetap terkadang oknumnya, ini yang sulit dibendung.
Jadi pemahaman modernasi beragama yang dikaitkan dengan program profil P5 butuh sosialisasi yang intens dan tepat sasaran. Terkadang juga yang sosialisasi malah menambah paradigma dan tafsir baru di kalangan masyarakat. Sebaiknya materi sosialisasi dan yang bertugas sosialisasi benar-benar dirancang yang mudah dipahami oleh masyarakat awam khususnya.
Namun, salah satu yang perlu diimplementasikan ialah pendidikan multikultural, ini penting. Karena pendidikan bukan hanya learning to do, learning to know, tetap juga learning to live together tanpa mengenal ras, suku dan agama.
Kemudian, masih perlu sosialisasi secara intensif, apalagi seperti ditempat kita seperti ini, masih kurang rasa-rasanya moderasi agama disosialisasikan, masih diranah FKUB saja, ke sekolah dan ke Perguruan Tinggi masih belum ada.
Jadi, sesungguhnya apakah dampak perubahan kurikulum dari K-13 ke kurikulum Merdeka itu?
*Penulis adalah guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SMPN 2 Paser Belengkong Kabupaten Paser
BACA JUGA