Peringatan tahun baru 2023, introspeksi diri, menyusun Resolusi Paser Mas

Oleh :
Kasrani Latief
Ketua GPMB Kabupaten Paser

Pembagian waktu merupakan sebuah konsep abstrak yang diciptakan oleh manusia dengan menghitung perputaran bulan dan matahari dari hitungan detik, menit, jam, sampai dengan hitungan milenium yang berdurasi 1000 tahun. Dalam tradisi berbagai agama, waktu tertentu terkait dengan berbagai perayaan dan ritual yang biasanya telah ditetapkan dalam waktu tertentu seperti pelaksanaan puasa dan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.

Konsep waktu dalam masyarakat industri dan jasa berguna untuk menghitung produktifitas yang dicapai. Karena itulah, waktu dikatakan sama dengan uang. Dalam perspektif manajemen, rentang waktu digunakan untuk membuat perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi serta target yang ingin dicapai.  Umat Islam memiliki kalender Hijriyah yang didasarkan pada perputaran bulan untuk menentukan pelaksanaan berbagai peribadatannya.

Sementara itu, Indonesia menggunakan kalender Gregorian atau Masehi yang berakar dari tradisi Barat untuk menentukan berbagai aktifitas kegiatan pemerintahan resmi. Karena itu, di Indonesia terdapat dua kali peringatan tahun baru, yaitu 1 Muharram dan 1 Januari. Dua-duanya merupakan hari libur nasional.

Pergantian tahun Masehi yang biasanya dirayakan pada malam hari bisa dikatakan sudah menjadi tradisi global yang dipraktekkan tidak hanya di Indonesia, namun juga seluruh dunia. Semua kalangan lintas demografi usia dan strata sosial ikut larut dalam sukacita dalam menyambut tahun baru melalui beragam aktivitas dalam suasana kebersamaan dan kemeriahan.

Namun dibalik peringatan Tahun Baru, bagi sebagian orang perayaaan tersebut kerap kali mengundang kegundahan dan kegelisahan berupa dilema konsepsional perihal kebolehannya. Secara historis budaya perayaan tahun baru memang selalu dihubungkan tradisi non-muslim dan kerap kali menimbulkan pertanyaan seputar “kepantasan” dalam merayakannya.

Kalaupun ritual perayaan tahun baru yang dilakukan non muslim dahulu berupa hal-hal yang tidak baik, sebagai umat muslim maka kita harus bisa mengisinya dengan hal-hal yang bernilai positif. Terlebih tahun masehi dijadikan sebagai penanggalan nasional, maka umat muslim sebagai mayoritas penduduk di Indonesia harus menjadikan momen tersebut agar sarat akan hal-hal positif. Meskipun umat muslim sudah memiliki sendiri perayaan tahun baru yaitu tahun Hijriah yang diperingati setiap tanggal 1 Muharram.

Sesungguhnya peringatan tahun baru menjadi sarana untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Kita sebagai warga Kabupaten Paser memiliki Moto “Olomanin Aso Buen Siolo Endo) yang artinya bahwa “hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Kalau tidak, kita akan merugi. Memasukkan nilai yang positif dalam peringatan Tahun Baru harus kita lakukan dengan cara peringatan tahun baru ini dilaksanakan dengan sederhana atau berkumpul dengan keluarga.

Menjadi tugas para ulama dan pemimpin dan kita sebagai masyarakat, agar perayaan tahun baru tersebut berjalan secara positif dan Indonesia sebagai masyarakat yang mayoritas Muslim tentu harus memasukkan nilai-nilai keislaman dalam peringatan tersebut.

Upaya memasukkan nilai keislaman ini bukanlah hal yang aneh dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Sebagai contoh, hal tersebut pernah dipraktikan oleh Walisongo salah satunya menggunakan wayang sebagai alat menyebarkan Islam, semuanya berlangsung mulus tanpa menimbulkan gejolak dan hasilnya adalah Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Sama halnya kegiatan malam tahun baru di isi dengan do’a, dan hal-hal positif lain yang lebih bermanfaat. Meskipun kemudian tetap ada semacam ucapan selamat tahun baru atau bentuk apresiasi suka cita dengan kembang api sebagai wujud kebahagiaan menyambut tahun baru masehi. Selama itu tidak dilakukan secara berlebihan tidak menjadi masalah.

Di luar hiruk-pikuk bunyi petasan dan kembang api, kini mulai tumbuh tradisi baru dengan berdzikir di berbagai masjid yang diikuti dengan pemberian wejangan oleh para dai sampai dengan tengah malam. Tradisi baru inilah yang harus didorong agar semakin cepat berkembang untuk mengarahkan energi masyarakat dalam memperingati tahun baru secara positif. di tahun depan dan di tahun-tahun baru selanjutnya.
Pada prinsipnya, adanya perayaan tahun baru yang dimaksud bukanlah pada pesta kembang api, bakar-bakaran dan lain sebagainya, namun dijadikan sebagai sarana untuk introspeksi dan muhasabah diri. Yakni menilai diri sendiri sudah sejauh mana kepribadian dan amal perbuatan selama setahun ke belakang sehingga timbul kesadaran bahwa mulai tahun baru ini adalah waktunya untuk memperbaiki diri. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya perayaan tahun baru tersebut diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bukan malah untuk berhura-hura.

Harapan saya bahwa disetiap penyambutan tahun baru kedepanya agar menyambutya dengan hal hal yang tidak hanya kenikmatan dunia malainkan suatu kenikmatan dunia dan ahirat. Sebab setiap yang hidup pasti akan kembali pada sang penciptanya oleh karena itu maka kita haru lebih banyak berbuat hal hal yang bermanfaat untuk diri dan orang orang yang ada disekitar kita.
Sebagai manusia mahkluk sosial layaknya membangun interaksi yang progresif dalam hal ini dapat mengembangkan kualitas pengetahuan serta amal jariah kita selaku umat yang beragama. Manusia yang mulaia adalah manusia yang ihklas membantu antara sesamanya tanpa memandang dari segi budaya, suku, ras dan agama.
Tahun Baru harus kita tanamkan pada diri sendiri untuk terus maju tiap hari. Kuncinya adalah melalui revolusi. Revolusi disini maksudnya ialah melakukan gebrakan, perubahan, upaya, usaha, atau aksi nyata, karena rencana besar tanpa pelaksanaan adalah sebuah kesia-siaan. Bukankah satu-satunya cara untuk mewujudkan mimpi adalah dengan segera bangun dari tidur?
Maka kiranya yang lama berakhir tanpa sesal dan yang baru dapat ditempuh dengan lebih baik. Selamat introspeksi diri, selamat menyusun resolusi, Wujudkan Paser MAS (Maju, Adil dan Sejahtera), Selamat tahun baru 2023.

Tinggalkan Komentar