Polisi Kembali kepada Jati Dirinya
Oleh Antonius Benny Susetyo*
PADA hari Jumat, 5 Mei 2023, Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, hadir dan membuka secara resmi acara Seminar Haluan Pembangunan Bali Masa Depan “100 Tahun Bali Era Bali Tahun 2025 – 2125” di Bali. Pada kesempatan itu, Megawati menyampaikan arahan terkait Haluan Pembangunan Bali Masa Depan.
Dalam kesempatan yang sama juga, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) menyinggung kasus Ferdy Sambo yang menghiasi berita di Indonesia belakangan ini. Menurutnya, Ferdy Sambo, serta polisi-polisi lainnya yang juga masuk dalam pemberitaan negatif, telah mencoreng nama baik kepolisian. Megawati meminta semua polisi yang ada insaf dan tidak lagi melakukan kegiatan yang melanggar norma dan aturan di Indonesia, termasuk adalah kegiatan korupsi.
Masih segar di ingatan kita bagaimana kasus Ferdy Sambo mengguncang bangsa Indonesia ini. Terang-terangan Sambo dan komplotannya melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada tengah tahun 2022 lalu. Kasus tersebut menjadi sorotan dan topik utama selama berbulan-bulan.
Ditambah lagi kasus lainnya, dan baru-baru ini, AKBP Achirudin Hasibuan yang muncul karena membiarkan anaknya melakukan penganiyaan, serta ditemukannya Gudang solar illegal yang disinyalir didukung olehnya.
Banyaknya kasus-kasus yang menimpang Korps Bhayangkara sudah membuat nama baiknya turun drastis. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap polisi; polisi pun kehilangan harga dirinya sebagai lembaga pengayom masyarakat. Hal ini membuat Megawati sedih. Sebagai seorang negarawan, Megawati tahu bahwa posisi kepolisian sangat dibutuhkan di masyarakat.
Saat harkat dan martabat polisi dirusak dan dihancurkan, dia pun merasa prihatin. Di samping itu, permintaannya agar polisi insaf tentu menunjukkan rasa cinta seorang warga negara kepada Bhayangkara. Megawati mencintai Korps Kepolisian Republik Indonesia. Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, juga adalah salah satu pendiri Kepolisian Republik Indonesia.
Pada kasus Sambo dan kawan-kawan, banyak pihak yang memberikan komentar, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang telah menyatakan harapannya terkait Tim Khusus yang dibentuk Polri, menyusul kasus polisi menembak polisi yang menewaskan Brigadir Novriansyah Yoshua tersebut.
Dia pun menyatakan bahwa polisi harus bisa mengembalikan nama baiknya, dengan menunjukkan kinerja profesionalnya dan sungguh-sungguh menjadi garda depan dalam penegakan hukum di Indonesia. \
Polisi adalah garda terdepan dalam penegakan hukum Indonesia. Sungguh ironis, dengan posisi yang seperti itu, polisi malah banyak terbukti melakukan kejahatan, seperti pembunuhan, narkoba, penganiyaan, serta penimbunan barang yang terbukti ilegal. Seharusnya, ini menjadi refleksi paling mendasar bagi polisi selama ini. Kasus-kasus yang begitu banyak menunjukkan aparat belum bekerja secara professional dan menjadi pelindung rakyat dalam arti sesungguhnya.
Polisi seharusnya memiliki keadaban. Keadaban adalah keutamaan, dan itu adalah polisi sebagai pengayom masyarakat. Polisi seharusnya dekat dan menjadi contoh serta role model bagi warga negara Indonesia. Masyarakat seharusnya melindungi masyarakat dan tidak mengambil untung dari masyarakat dengan semena-mena. Polisi seharusnya adalah pelayan publik, bukan tuan-tuan dan raja-raja kecil yang selalu meminta untuk dihormati tanpa menunjukkan keteladanan.
Memang, tidak semua polisi seperti ini; saya yakin banyak polisi diluar sana menunjukkan keadabannya: menjadi sahabat masyarakat. Akan tetapi, kasus-kasus yang muncul sekarang ini telah mencoreng Korps Bhayangkara sangat besar, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan serta rasa hormatnya terhadap mereka.
Ini sangat harus dihindari. Jika polisi tidak lagi didengar dan dipercaya, masyarakat akan bergerak sendiri tanpa norma, karena tidak lagu memiliki rasa percaya dan hormat kepada mereka yang seharusnya menjadi penegak norma dan hukum di masyarakat.
Polisi seolah-olah tidak lagi memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat, karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.
Di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat”, hukum tak lagi memiliki taring. Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.
Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum” seringkali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Da sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang. Mampukah kepolisian mendobrak semua tata kebangsaan yang makin buruk ini?
Polisi memiliki seorang role model, yaitu Hoegeng. Bagaimana dia melaksanakan tugas dan panggilannya sebagai sahabat masyarakat, sebagai pelayan publik, seharusnya dapat diikuti oleh semua bagian dari Kepolisian Indonesia. Hoegeng bukan polisi yang mementingkan dirinya sendiri dan memiliki gaya hidup yang terlalu mewah. Posisinya yang tinggi tidak membuatnya buta bahwa janji dan tugas yang dia emban adalah yang terutama. Inilah yang harusnya dilakukan oleh semua polisi. Ini jugalah yang diminta Megawati dengan pernyataannya meminta polisi insaf.
Megawati menyadari betul bahwa tanpa polisi, warga negara Indonesia bisa masuk dalam keadaan chaos, berantakan, tidak beraturan, dan tidak dapat diatur. Tentu, sebagai seorang negarawan, dia tidak menginginkan hal tersebut terjadi di negara Indonesia. Karena inilah, Megawati menyatakan agar para polisi insaf, polisi kembali ke jalan yang benar, kembali kepada fitrahnya. Dan saya sangat setuju. Polisi harus kembali lagi kepada tugas dan fungsinya.
Bahwa, polisi sesungguhnya adalah seorang pelayan publik yang terus melayani masyarakat. Polisi harus tetap berpegang teguh pada Pancasila dalam mengamalkan kehidupan sehari dan menjaga kerukunan beragama. Diharapkan, polisi memiliki Pathos mewakili sebuah tampilan emosi kepada audien, dan pencurahan perasaan yang ditampilkan di dalamnya. Pathos adalah sebuah teknik komunikasi yang sering banyak dipakai dalam retorika, dan dalam kesusastraan, film dan seni naratif lainnya.
Kita juga berharap, di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri mampu menjawabi tantangan zaman dengan menguasai ilmu pengetahuan yakni kemampuan untuk menguasai teknologi dan komunikasi dalam respon kejahatan yang menggunakan teknologi dalam pertarungan ideologi global serta kejahatan ekonomi.
Citra polisi akan kembali bersinar lagi di masyarakat, dengan membuat penyelidikan yang tranparan terhadap kasus polisi tembak polisi dengan penegakkan hukum yang berasaskan keadilan, dan menyerahkan kuasa kepada tim penyelidikan independen mengungkat misteri di balik semua tragedi kemanusian.
* Penulis adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Doktor Bidang Komunikasi Politik, Sekretaris Dewan Nasional Setarra Institute, dan Budayawan
BACA JUGA