Potensi Bencana Ekologis di Paser

Oleh : Achmad Safari *)

 

Sepanjang bulan Januari 2021 ini, beberapa daerah di Indonesia mengalami berbagai bencana alam. Bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan dan bencana tanah longsor di Sumedang, serta bencana alam di daerah lainnya hingga menimbulkan puluhan korban jiwa meninggal serta puluhan ribu jiwa terdampak akibatnya, juga tak terhitung sangat besar kerugian materi yang diakibatkannya. Bencana di beberapa daerah tersebut bukan sesuatu yang mustahil dapat terjadi di Kabupaten Paser. Tanda-tanda potensi bencana ekologis sudah mulai bermunculan jika melihat kondisi Kabupaten Paser saat ini :

Hingga akhir Tahun 2020, lahan yang telah diberikan kepada pihak swasta dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan seluas 233.992,782 Ha dan Hak Guna Usaha Perkebunan seluas 155.544,62 Ha.

Perubahan tutupan vegetasi dari hutan alam ke lahan usaha yang dimiliki oleh korporasi menyebabkan banyaknya lahan terbuka serta perubahan ekosistem akibat sistem budidaya monokultur perkebunan.

Kedua aktivitas tersebut, ditambah dengan kegiatan penebangan hutan pada era kayu, penambangan tanpa izin (PETI), aktivitas pertanian, dan kegiatan masyarakat lainnya menambah besar luas lahan di Kabupaten Paser yang berstatus kiritis.

Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur produktivitas lahan sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem DAS.

Jika kita bandingkan luas Kabupaten Paser sebesar 11.603,94 km2 atau  1.160.394 Ha, maka gabungan keempat kriteria lahan kritis  (agak kritis, kritis, potensial kritis, dan sangat kritis) mencapai 930.394 Ha atau sekitar 80% dari total luas Kabupaten Paser.

Dampak yang nyata dari banyaknya lahan kritis adalah potensi timbulnya bencana banjir. Berdasarkan Dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah Kabupaten Paser Tahun 2017-2021, maka 8 dari 10 kecamatan termasuk wilayah rawan bencana banjir dan banjir arus deras. Kedelapan kecamatan tersebut adalah : Tanah Grogot, Batu Engau, Batu Sopang, Long Ikis, Long Kali, Muara Komam, Muara Samu, dan Pasir Belengkong. Kecuali Tanah Grogot, maka tujuh kecamatan lainnya merupakan wilayah pertambangan dan perkebunan.

Potensi bencana lainnya yang diakibatkan oleh lahan kritis adalah semakin kritisnya sumber air bersih di Kabupaten Paser. Aktivitas perkebunan memberikan dampak terhadap penurunan kualitas air sungai. Erosi yang masuk ke sungai meningkatkan kekeruhan sungai.

Selain dilakukannya penanaman di lahan dengan kemiringan tanah yang curam, maka penanaman di sempadan sungai juga mengakibatkan tidak ada tanaman alami/hutan yang mampu menahan laju erosi.

Pupuk dan pestisida yang terbawa air hujan dapat masuk ke sungai sehingga menurunkan kualitas air sungai dan menimbulkan eutrofikasi. Usaha pertambangan juga menimbulkan kerusakan perairan sungai melalui erosi tanah hasil pembukaan lahan serta air asam tambang dan air pada settling ponds tanpa melalui pengolahan yang benar masuk ke parit dan bermuara ke sungai.

Berdasarkan hasil uji pada sampel air sungai yang dilakukan DLH Paser di tahun 2020, maka ada beberapa parameter uji yang berada diatas baku mutu lingkungan, yaitu: kekeruhan, TSS, besi, nitrogen, total coliform, sulfida, dan amoniak.

Meningkatnya kadar beberapa parameter uji tersebut sangat erat kaitannya dengan aktivitas pertambangan dan perkebunan. Banyaknya senyawa kimia yang masuk ke sungai mengakibatkan sungai menjadi tercemar sehingga dapat membahayakan kesehatan bagi konsumennya. Hal ini mengakibatkan Kabupaten Paser dapat mengalami krisis bahan baku air minum.

Bencana tanah longsor juga dapat mengancam masyarakat di Kabupaten Paser. Tanah longsor dapat terjadi pada daerah yang berkontur dengan kemiringan yang curam. Daerah ini banyak terdapat di bagian barat Kabupaten Paser.

Pembukaan lahan dan usaha perkebunan monokultur menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penahan erosi. Aliran air akan mengikis tanah dan jika terjadi secara terus menerus maka dapat menimbulkan dampak longsor pada wilayah tersebut.Berdasarkan kondisi tersebut, saya mengajak kita semua untuk bertindak preventif bukan reaktif terhadap degradasi lingkungan yang terjadi. Kepada pelaku usaha  pertambangan segera lakukan reklamasi dan revegetasi terhadap lahan tambang yang sudah tak digunakan. Lakukan praktik pertambangan sesuai kaidah keamanan lingkungan.

Kepada pelaku usaha perkebunan hentikan aktivitas penanaman pada lahan yang tidak diperkenankan untuk ditanami, seperti pada daerah yang berkontur dengan kemiringan curam, pada daerah resapan air, ataupun di sempadan sungai. Aplikasikan pupuk dan pestisida secara benar. Kepada pemilik pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (CPO), agar selalu mengontrol kondisi IPAL, jangan sampai air limbah masuk ke lingkungan alam.

Kepada Pemerintah Daerah perlu kerjasama dan integrasi program dari semua OPD yang ada sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan, dapat dibentuk tim penanggulangan kerusakan lingkungan, pembentukan kelompok kerja atau pengaktifkan kembali peran Forum DAS Kabupaten Paser dalam upaya pelibatan peran aktif masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Pemberian sanksi bagi perusahaan perusak lingkungan agar dapat ditegakkan, serta pemberian penghargaan bagi pelaku usaha yang komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan.

Kepada Masyarakat, hentikan praktik usaha illegal seperti penambangan tanpa ijin, pengerukan pasir tanpa ijin, dan usaha lainnya yang berpotensi mencemari lingkungan. Berperan aktif dalam menjaga lingkungannya, seperti membentuk komunitas masyarakat peduli lingkungan.

 

*) Pemerhati Lingkungan

Tinggalkan Komentar