PWI dan GAPKI Kupas Tantangan Implementasi FPKM di Kaltim

oppo_2

Balikpapan, Gerbangkaltim.com – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menggelar workshop Jurnalistik dengan mengusung tema tinjauan tantangan implementasi kebijakan FPKM di Kaltim terhadap potensi pengembangan ekonomi daerah.

Kegiatan ini dihadiri Ketua PWI Pusat, Henry CH Bangun, Ketua GAPKI Eddy Martono, Polda Kaltim, Pimred Warta Ekonomi, Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim, serta rekan jurnalis di Balikpapan.

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono mengatakan, komitmennya untuk mendukung kemajuan pers Indonesia. Dimana, melalui media massa, informasi positif mengenai industri kelapa sawit sebagai komoditas strategis Indonesia dapat disebarkan secara lebih luas.

“Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia. GAPKI mengakui bahwa industri ini sering kali menjadi sorotan isu negatif terkait hak asasi manusia, lingkungan, dan keberlanjutan. Ketidakseimbangan informasi di masyarakat menciptakan berbagai persepsi yang tidak akurat terhadap industri kelapa sawit,” ujarnya, Rabu (25/7/2024).

Dikatakannya, saat ini luasan lahan sawit di Indonesia sekitar 16 juta hektar. Dengan jumlah pengusaha yang masuk ke dalam GAPKI sekitar 745 orang.

“Dari total luasan tersebut, 40 persennya lahan sawit dikelola oleh petani,” jelasnya.

Pengelolaan sawit juga termasuk bahan balu ekspor unggulan karena dalam setahun bisa mencapai 600 triliun sumbangsihnya bagi negara.

“Dengan negara tujuan ke china, india, banglades, timur tengah, dan uni eropa,” ucapnya.

Begitu juga dengan produksi dan produktivitas relatif stagnan dan cenderung turun karena peningkatan produksi sangat dipengaruhi dengan peningkatan luas areal.

“Sejak moratorium tahun 2011, tidak ada lagi izin baru untuk pembukaan kelapa sawit Realisasi PSR sangat rendah,” tukasnya

Tantangan lain yakni Perkebunan Sawit yang teridentifikasi dimasukan kawasan hutan (sudah punya IUP, sudah tertanam, punya alas hak) berpotensi akan terjadi penurunan produksi (sekitar 2,6 juta Ha hanya menyelesaikan 1 siklus)

Eddy menambahkan, selain tantangan kewajiban perusahaan dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit juga perlu dilakukan Setiap perusahaan wajib memiliki Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha.

“Sebelum keluamya Keputusan MK 138 tahun 2018 setiap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha perkebunan wajib memilik IUP dan atau/HGU,” jelasnya.

Setelah keluarnya Keputusan MK 138 Tahun 2015 setiap perusahaan yang melakukan usaha perkebunan wajib memiliki IUP dan HGU.

“Setiap perusahaan penerima IUP wajib melaporkan progres pembangunan kebun secara periodik,” paparnya.

Pengembangan perkebunan harus menerapkan pengelolaan perkebunan yang balk (GAP/GMP) dan menerapkan kaidah pembangunan berkelanjutan (wajib ISPO).

Selain itu, Perusahaan perkebunan wajib memenuhi FPKM Permentan No. 26/2007. Termasuk Pemilik IUP-B atau IUP wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

“FPKMS wajib bagi semua perusahaan sawit harus berupa perkebunan sawit, FPKMS diambil dari lahan perusahaan inti dan FPKMS dananya berasal dari perusahan,” katanya.

Sementara itu, Ketua PWI Pusat, Henry CH Bangun meminta para wartawan mampu bersikap terhadap isu sawit. Karena persoalan ini sudah menjadi pemberitaan dalam skala nasional dan internasional. Namun berita yang beredar lebih membawa dampak negatif bagi Indonesia. Padahal total luas lahan sawit secara nasional mencapai 16,8 juta hektar. Artinya ada hajat hidup masyarakat yang bergantung di sektor kelapa sawit.

“Kelapa sawit ini isu internasional dan nasional. Ada beberapa persoalan yang harus ditangani. Wartawan tidak boleh termakan berita yang ternyata sumbernya tidak jelas. Mungkin bisa buka soal ini di situs Gapki,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu Hendry menambahkan, wartawan seharusnya bisa berpihak terhadap nasib petani sawit. Meski secara kode etik memang wartawan harus bersikap independen dalam pemberitaan. Tapi opini dari luar yang muncul sudah memberikan dampak negatif bagi sektor sawit. Bahkan masyarakat yang terlibat juga terkena imbasnya. Mereka mengalami kesulitan secara perekonomian akibat isu sawit yang berkembang di berbagai media.

“Soalnya ini isu yang seksi. Cuma sorotannya lebih ke negatif. Memang wartawan harus independen. Tapi dalam soal ini kita harus berpihak. Ini soal nasib warga yang berjuang untuk penghidupan keluarganya. Sementara kampanye negatif soal sawit kita terus terjadi,” tutupnya.

Tinggalkan Komentar