Representasi Hak Politik Perempuan Melalui Kebijakan Afirmasi
Oleh : Dyah Elly Kusrini*
MASYARAKAT sebagai pilar demokrasi sangat memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita demokrasi khususnya terselenggaranya pemilu dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil sebagaimana amanat Undang-Undang. Sementara komposisi perempuan yang harus memenuhi 30% sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang masih belum memenuhi. Sehingga perlu kolaborasi semua pihak untuk kedepannya.
Ketentuan Pasal 167 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maka Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia menetapkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang jadwal dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum 2024. Dalam lampiran peraturan tersebut menjelaskan tentang jadwal dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum. Mulai dari tahap perencanaan, penyusunan peraturan, pelaksanaan pemungutan suara, sampai dengan pelantikan para calon terpilih. 14 Febuari 2024 adalah hari pelaksanaan pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Perempuan di Indonesia sejak pemilu tahun 1955 telah memiliki keterlibatan yang aktif pada bidang politik, namun kesenjangan dalam partisipasi perempuan masih ada dan membuat mereka belum terwakili secara setara di lembaga legislatif. Dalam ranah pemerintahan pun perempuan kerap kali belum bisa menyeimbangkan posisi laki-laki dalam hal memegang posisi eksekutif dan manajerial dalam administrasi publik. Mereka hanya mampu masuk pada sektor publik saja yang dimana hal ini membuat posisi perempuan masih terlihat kurang mampu menguasai pemerintahan.
Adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam politik mengakibatkan terjadinya diskriminasi politik berbasis gender yang sampai sekarangpun masih berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Perempuan dalam ranah politik memang tidak gampang dikarenakan adanya budaya patriarki yang masih mendominasi sehingga keadaan pun menjadi kurang mendukung dari pihak perempuan. Adanya kesetaraan gender merupakan suatu pembangunan yang adil dan berkelanjutan dimana dalam hal ini partisipasi perempuan dalam politik juga dapat memengaruhi dunia politik terlebih lembaga-lembaga politik yang seharusnya dapat menjadi pemberdayaan politik bagi perempuan.
Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik tersebut tidak terjadi secara serta merta, namun karena usaha yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang dalam mencapai persamaan dan keadilan, salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan. Perwakilan adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok orang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.
Adanya kebijakan afirmasi terhadap perempuan dalam bidang politik yang sudah diterapkan harus dilakukan dimana kebijakan afirmatif adalah sarana yang dapat dan harus digunakan untuk mengatasi masalah ketidakberuntungan perempuan. Sebagaimana yang sudah ditetapkan dan disahkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 ayat 1, yang sekarang telah mengalami perubahan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD dan DPRD. Dalam pasal tersebut sudah jelas dikatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Ada juga Undang-Undnag Nomor 7 Tahun 2017 pasal 173 ayat 1e yang menyatakan bahwa “..menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.
Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, maka dalam hal ini berarti telah ada kebijakan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dengan cara memberikan ketentuan dan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan pada setiap aturan pemilu dan aturan partai politik peserta pemilu agar memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% didalam mengajukan calon anggota DPR, DPD dan DPRD.
Adanya kebijakan yang diberikan sebagai salah satu langkah dalam menggerakkan perempuan untuk ikut terlibat dalam kontestasi politik dalam pemilu dan menduduki suatu kursi di legislatif. Akan tetapi banyaknya permasalahan yang terjadi baik dari pribadi sendiri maupun pihak luar yang mempengaruhi jumlah partisipasi dalam mencari atau mengikutsertakan diri dalam pencalonan keterwakilan perempuan.
Sebagaimana yang diketahui bahwa pada pemilu legislatif baik pusat, provinsi maupuan kabupaten/kota target minimal 30% keterwakilan perempuan belum terpenuhi. Keterwakilan perempuan pada tingkat DPR RI masih cukup rendah, ini dibuktikan dari sekian 575 jumlah kursi, hanya sekitar 118 atau sekitar 20,52% yang menjadi perwakilan perempuan. Sedangkan jika dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 457 atau sekitar 79,48%, maka hal ini dapat dikatakan keterwakilan perempuan di pusat masih cukup rendah. Kemudian DPR RI Dapil Kaltim hanya 1 orang dari 8 jumlah kursi atau 12,5 %
POLITIK REPRESENTASI 30 PERSEN KUOTA PEREMPUAN
Perempuan perlu terlibat dalam politik karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan itu sendiri. Kebutuhan ini antara lain yang berkaitan dengan isu-isu kesehatan reproduksi, seperti akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama ketika seorang perempuan hamil dan melahirkan.
Contoh lainnya, akibat perbedaan organ reproduksi, perempuan juga mengalami menstruasi, suatu hal yang tidak dialami oleh laki-laki, sehingga perempuan juga memiliki kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki berkaitan dengan organ reproduksinya tersebut. Isu-isu tersebut dinggap hanya bisa diangkat jika perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga mereka langsung mengerti kenapa isu ini penting karena mereka juga yang langsung mengalaminya. Jika dialami secara langsung tentu akan berbeda dengan para lelaki yang hanya mendengar opini tanpa mengalaminya secara langsung karena itu keterlibatan perempuan di parlemen sangat dibutuhkan.
Isu-isu perempuan yang kurang dibahas di parlemen membuat masyarakat sadar akan pentingnya peranan perempuan sebagai pembuat kebijakan di parlemen. Nilai-nilai patriarki yang mengakar di Indonesia mengakibatkan berbagai kondisi yang membuat perempuan berada pada posisi rentan. Semakin kompleksnya masalah perempuan, menuntut pentingnya ada peran perempuan di legislatif terlebih jika bisa memimpin posisi-posisi strategis di parlemen. Politik representasi perempuan ini dinilai gagal memberi kontribusi positif terhadap produk legislasi yang berpihak pada kepentingan perempuan dan kelompok marginal.
Tahun 2019 tentu menjadi tahun bersejarah terkait representasi perempuan di politik. Dengan kenaikan presentasi ini tentu menunjukkan adanya perubahan terhadap jumlah pengambil kebijakan yang seorang perempuan. DPR RI Dapil Kaltim sebesar 12,5%, DPRD Provinsi Kaltim sebesar 20% perempuan dan DPRD Kabupaten Paser 20% dan DPD RI Dapil Kaltim sebesar 25%.
Seharusnya kuota 30% ini bukanlah menjadi sorotan utama dalam hal representasi perempuan, kita seharusnya melihat dalam pandangan yang berbeda yaitu kualitas sumber daya manusia yang ada di parlemen. Apakah perempuan-perempuan yang terpilih memang perempuan-perempuan berkualitas yang cocok menjadi sosok sebagai penyalur aspirasi masyarakat, apakah mereka tahu betul tentang apa yang di lakukan parlemen mengenai tugas dan kewajibannya, masyarakat harus menilai dari segi kemampuan mereka dalam memimpin bukan hanya karena aturan 30% jadi siapapun sosok perempuannya tidak jadi masalah.
Kebijakan afirmatif dengan memberikan kuota 30% bagi kaum perempuan yang diatur dalam UU Pemilu Legislatif (UU 12/2003, UU 10/2008) dan UU Partai Politik (UU 31/2002, UU 2/2008, UU 2/2011), maupun ratifikasi berbagai konvensi mengenai HAM, merupakan bagian dari kebijakan diskriminasi positif dalam rangka meningkatkan jumlah keterwakilan dan peran politik perempuan di DPR.
Komisi Pemilihan Umum mempertahankan aturan soal jumlah representasi perempuan di DPR RI untuk Pemilu 2024. Pasalnya, menurut KPU, aturan ini berhasil meningkatkan angka partisipasi perempuan pada pemilu. Aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ini mewajibkan partai politik mencalonkan calon legislatif perempuan sebesar 30% di setiap dapil. Selain itu, KPU juga mempertahankan regulasi turunan terkait hal tersebut yang dimuat dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Adanya pasal PKPU yang mengatur sanksi bagi parpol yang tak calonkan 30 persen caleg perempuan di setiap dapil, efektif ”memaksa” partai untuk menempatkan pencalonan caleg perempuan di posisi strategis.
REPRESENTASI PEREMPUAN DI DUNIA
Indonesia masih menempati peringkat keenam se-ASEAN terkait kedudukan perempuan di kursi legislatif dengan persentase di bawah 20% pada data tahun 2017. Peringkat tersebut di bawah Filipina, Laos, Vietnam, Singapura, dan Kamboja. Angka tersebut terbilang kecil. Di antara negara ASEAN lainnya, dengan Indonesia menggunakan aturan kuota 30% tetap saja Indonesia masih berada di urutan keenam dengan sistem pemilu yang dilihat sudah mengutamakan posisi perempuan. Apabila melihat perbandingan perempuan Indonesia telah mendapat kursi di parlemen sejak tahun 1987. Pertumbuhan ini berbeda dengan Amerika Latin yang hanya memerlukan waktu 10 sampai 20 tahun untuk meningkatkan keterlibatan perempuan di parlemen.
Dalam buku Political Power and Women’s Representation in Latin America yang ditulis Leslie A. Schwindt-Bayer, tertulis bahwa representasi gender menjadi hal yang penting untuk mendongkrak persentase perempuan di kursi parlemen. Faktor yang mempengaruhi tingginya angka keterpilihan perempuan di Amerika Latin adalah pemilihan calon legislatif perempuan. Untuk mendongkrak keterpilihan perempuan, negara-negara itu memilih kader perempuan yang mumpuni sehingga mampu meraup suara tinggi.
Tak hanya itu, setelah duduk di kursi legislatif, perempuan-perempuan terpilih itu benar-benar menyuarakan hak dan kesetaraan perempuan dan hak anak, serta isu keluarga. Jika dilihat dalam konteks global banyak kasus, perempuan dilihat bisa menjadi pemimpin sebuah organisasi global ataupun pemimpin di pemerintahan. Bisa dilihat bagaimana Uni Eropa memulai sejarah baru dengan menempatkan perempuan pada jabatan tertinggi di Uni Eropa.Ursula Sertrud bvon der Leyen terpilih sebagi perempuan pertama yang menjadi presiden komisi Eropa, menggantikan Jean-Calude Juncker.
Keterwakilan perempuan di Indonesia memang masih rendah di bandingkan negara-negara lainnya, tetapi tentu kita harus mengapresiasi kinerja pemerintah terkait isu ini. Dengan adanya aturan tentang kuota representasi perempuan ini memang menjadi basis dasar partai politik untuk mengikuti regulasi yang ada. Dengan demikian, adanya keharusan dari partai politik untuk memperbanyak calon legislatif perempuan dan setelah itu biarkan masyarakat yang memilih terkait kualitas calon legislatif tersebut.
Berdasarkan presentasi representasi perempuan di politik dari masa kampanye, partai politik tidak ada yang tidak mengikuti aturan representasi tersebut. Semua partai sudah memenuhi persyaratan calon legislatif perempuan yang ikut berkompetisi harus di atas 30% dan tentu ini bukanlah suatu isu yang belum terselesaikan.
Terlepas dari motivasi apa para perempuan ini ingin maju menjadi anggota parlemen tetapi dari segi kuantitas tentu ini sudah berhasil. Partai politik yang memegang kekuasaan memilih caleg yang akan di berkompetisi di pemilu, tentu partai politik yang tidak hanya ingin menaati peraturan dan juga ingin mendongkrak suara partai dengan memilih kader yang sudah banyak dikenal orang tetapi perlu dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai supaya tidak terlihat hanya karena kuantitas tetapi juga kualitas para kader perempuan juga harus diperhitungkan.
Adanya affirmative action kuota 30% tetapi representasi perempuan masih belum mencapai target. Meskipun mengalami kenaikan, namun masih belum mencapai target tentu banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya kemiskinan dan masalah sosial lainnya yaitu keluarga karena bagiamanapun butuh izin dari pasangan masing-masing yaitu suami jika perempuan ingin masuk politik. Politik uang yang marak terjadi juga mempengaruhi caleg perempuan yang terjun langsung berkompetisi dengan caleg-caleg yang lain yang di dominasi oleh laki-laki.
Peranan anggota legislatif perempuan terhadap kebijakan-kebijakan yang pro terhadap isu perempuan masih kurang. Beberapa kasus yang terjadi sekarang partai politik hanya ingin memenuhi kuota 30% dengan memilih perempuan-perempuan yang memang sudah terkenal seperti kalangan selebritas ataupun yang memiliki kekerebatan dengan kepala daerah seperti anak atau saudara kepala daerah dan ini sudah terbukti dengan persentasi anggota parlemen perempuan yang memang berasal dari dinasti politik.
Menjawab pertanyaan lainnya tentang dampak perlunya peningkatan kuota perempuan terhadap pemerintahan. Masyarakat dapat melihat apa yang anggota parlemen perempuan periode sebelumnya hasilkan, apakah mereka memang pro terhadap kebijakan-kebijakan yang pro perempuan atau tidak. Kasus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual membuktikan masih lemahnya dampak perempuan di parlemen padahal isunya sudah sangat mendeskripsikan isu gender. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil tidaklah merupakan perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat, berupa ketidakadilan gender.
Oleh karena itu masyarakat juga menilai prestasi yang dihasilkan anggota parlemen pada periode sebelumnya, karena kalau kader perempuan memang bekerja untuk rakyat dan ada dampak langsung di masyarakat tentu saja masyarakat akan masih memilih kader perempuan di periode-periode selanjutnya.
Tidak semua anggota perempuan di parlemen menganggap isu gender adalah isu yang penting ataupun berusaha untuk mengutamakan isu yang pro perempuan agar bisa lolos dalam bahasan paripurna karena bagaimanapun masih ada sekat-sekat yang mengikat karena mereka tidak bekerja sendiri di pemerintahan, masih ada aturan-aturan yang perlu diikuti. Aturan 30% kuota di parlemen di anggap sangat efektif dalam meningkatkan representasi perempuan, karena itu memang sangat harus dipertahankan bahkan kalau perlu ditingkatkan karena bukti menunjukkan setelah adanya kebijakan tersebut level representasi perempuan selalu naik.
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik bukan lagi hal yang baru. Sejarah mencatat peranan perjuangan kaum perempuan dan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan bangsa dan negara. Di era kolonialisme Belanda kita mengenal tokoh perempuan seperti R.A Kartini, yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada masa itu agar dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Sedangkan adapula perempuan yang ikut serta berjuang secara fisik dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia seperti Cut Nyak Dhien. Namun kondisi sekarang berbeda sebab perempuan pasca kemerdekaan dituntut untuk menyumbangkan tenaga, pemikiran berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan negara baik dalam bidang politik, sosial dan budaya.
Isu perempuan akan menjadi penting jika para anggota perempuan di parlemen banyak yang menempati kursi pimpinan dengan begitu mereka sangat leluasa untuk mengambil keputusan dan merubah mindset terhadap kebijakan-kebijakan yang gender-biased.
Jika ada jabatan strategis yang diduduki oleh perempuan pasti bisa berbeda hasilnya. Perempuan jadi makin berani mengutarakan pendapatnya dan bisa lebih berani mengangkat isu-isu yang dianggap masih sensitif di dewan. Partai politik juga memegang peranan penting bagi peningkatan representasi perempuan di politik.
Untuk menjaring perempuan-perempuan yang berkualitas tentunya dibutuhkan dari awal penjaringan yang mana adalah sistem penjaringan oleh partai politik. Partai politik harus mengalokasikan keuangan parpol untuk memberikan pendidikan politik bagi para perempuan agar meningkatkan ketertarikan para perempuan untuk masuk politik. Pendidikan politik juga dibutuhkan untuk para kader perempuan yang sudah ada agar senantiasa memiliki pengetahuan akan tugas-tugasnya di DPR.
Menghapus budaya patriaki yang memandang rendah kemampuan perempuan tentu harus diubah, dengan demikian masyarakat dari kalangan bawah lebih memiliki kepercayaan diri untuk berkompetisi dalam pemerintahan. Dukungan keluarga dan faktor ekonomi mungkin menjadi masalah untuk perempuan yang mau terjun di politik tetapi kalau sistem pemilu sudah mulai berubah tentu di masa depan sudah tidak ada pemikiran bahwa politik uang yang bisa memenangkan seorang calon legislatif.
* Penulis adalah Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM pada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Paser
BACA JUGA