Kasus Suap Hakim Agung Mencoreng Nilai-nilai Pancasila
Oleh : Antonius Benny Susetyo*
“Mereka yang memperdaya hukum dengan tipu dan jeratnya telah menghancurkan nilai keadilan dan keadaban yang merupakan nilai Pancasila”
INDONESIA kembali digemparkan dengan pemberitaan penetapan Hakim Agung Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dugaan suap terkait dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Diberitakan bahwa dia menyerahkan diri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tanggal 23 September 2022. Tersangka dinyatakan menerima uang suap dengnan total berjumlah SGD 205.000, atau sekitar Rp 2,1 Miliar dan Rp 50 juta dari pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno.
Selain Dimyati, total terdapat 10 tersangka kasus tersebut. Kasus ini diawali dengan operasi tangkap tangan pada hari Rabu, 21 September 2022, dan Kamis, 22 September 2022. Delapan tersangka sudah ditahan oleh KPK; ada dua buronan yang masih dicari, yakni Ivan Dwi Kusuma dan Heryanto Tanaka. Mereka berdua adalah debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Peristiwa ini bermula dengan laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan KSP Intidana di Pengadilan Negeri Semarang. Karena tidak puas, maka pihak debitur koperasi mengajukan banding, namun hasilnya juga tidak memuaskan. Upaya hukum kasasi di MA pun diajukan, dan komunikasi oleh para pengacara dilakukan kepada beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dianggap mampu menjadi penghubungan dengan majelis hakim.
Pegawai dalam lingkungan MA yang kemudian setuju dan bersedia menuruti kemauan tersebut adalah Desy Yustria, pegawai negeri sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA. Desy pun mengajak dua rekannya, yaitu Muhajir Habibie dan Elly Try Pangesty. Dari Desy ini jugalah KPK mendapatkan barang bukti berupa uang SGD 205.000 yang bersumber dari Ivan Dwi Kusuma dan Heryanto Tanaka. Uang itu pun diberitakan sudah dibagi-bagi antara hakim agung dan para pegawai MA yang terlibat: Desy menerima Rp 250 juta, Muhajir menerima Rp 850 juta, Elly menerima Rp 100 juta, dan Dimyati menerima Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP.
Uang tersebut diharapkan supaya MA mengabulkan kasasi yang menyatakan bahwa Koperasi Simpan Pinjam Intidana pailit.
KPK pun sudah mengamankan barang bukti berupa data pengeluaran uang hingga dokumen perkara dari penggeledahan dari lokasi-lokasi yang berbeda pada hari Selasa, 27 September 2022.
Kasus ini kembali melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan. Masih teringat jelas di ingatan kita, kasus pembunuhan Brigadir J. Ferdy Sambo dilaporkan menyuap beberapa pihak untuk melancarkan kelolosannya dari jeratan hukum karena pembunuhan ajudannya tersebut. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diduga menerima suap tersebut. Belum lagi dugaan bahwa banyak anggota polisi sendiri menerima suap untuk menutup kasus tersebut dengan cepat sehingga meloloskan Sambo. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa orang yang memiliki kekuatan modal sulit disentuh oleh hukum negeri ini. Keadaban hukum di Indonesia terbukti hancur. Hukum sebenarnya membangun masyarakat beradab, namun sekarang hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan modal, baik modal keuangan, kekuatan, ataupun kekuasaan. Di negeri ini, seringkali orang besar mendapatkan hak khusus di mata hukum. Pihak yang memiliki modal dapat dengan mudahnya mendikte dan mengendalikan hukum.
Hukum seharusnya bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat, agar masyarakat menjadi beradab.
Hal ini mencerminkan nilai dalam sila kedua Pancasila, Manusia yang Adil dan Beradab.
Tetapi, ketidakberdayaan hukum yang ditampilkan terus menerus oleh para aparat hukum terhadap mereka yang memiliki kemampuan, memberikan persepsi yang semakin kuat di masyarakat bahwa hukum itu menguntungkan penguasa sementara; rakyat kecil harus tertindas. Hukum tumpul keatas dan tajam kebawah.
Hukum akan menguntungkan penguasa dan mereka yang memiliki modal, sehingga mampu berkelit di tengah jeratan pasal-pasal. Hukum menguntungkan mereka yang mampu memperdayai penegaknya dan tak jarang menukarnya dengan imbalan tertentu, seperti kasus yang baru-baru ini terjadi.
Di sisi lain, kasus seperti pencuri piring, buah kakao, sandal jepit, dan lain-lain, tajam dan keras. Ini semua menunjukkan bahwa hukum tidak memiliki taring untuk menjerat para mafia dan pelaku skandal pembobolan uang negara.
Para koruptor dengan mudahnya mengelabui para penegak hukum. Para penegak hukum dengan mudahnya terpedaya untuk melakukan rekayasa dengan berbagai cara. Dapat kita rasakan saat ini, kekuatan uang dan pengaruh politik sudah menguasai arah penindakan hukum di negeri ini.
Hukum dan keadilan sudah menjadi barang yang mudah dipermainkan. Keadilan tidak untuk semua; hanya untuk mereka yang mampu membelinya. Keadilan di negeri ini menjadi sangat langka utnuk diperoleh, karena keadilan tidak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan pada kekuasaan dan popularitas. Hal ini dapat kita lihat sekarang ini, menjelang tahun kontestasi politik 2024.
Berbagai elit politik dan penguasa berlomba-lomba untuk mendapatkan suara dan popularitas dari masyarakat, dan seringkali mengesampingkan ide-ide dan gagasan yang seharusnya ditawarkan kepada masyarakat dalam rangka membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat pun memperoleh contoh dan didikan bahwa keadilan di negeri ini adalah sebuah ilusi.
Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagis emua. Hukum hanya sebagai pajangan, sebuah retorika, sebuah seremonial belaka. Hukum menjadi mandul. Kepandaiannya yang hanya menginjak ke bawah, dan sebaliknya, mengangkat mereka yang diatas. Hukum belah bambu telah mengiris rasa keadilan di negeri ini. Tragedi ini hanya akan semakin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai ‘negara hukum’ seringkali hanya sebagai pemanis mulut.
Dengan kejadian-kejadian yang sudah terjadi, kita mengajarkan kepada anak cucu kita tentang ‘kedaulatan hukum’ adalah sederetan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak dilakukan secara nyata. Das sein yang ditunjukkan di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata; didamba selalu berdekatan, tetapi tidak pernah menyatu.
Keadilan hanya alat untuk memaniskan realitas kehidupan yang sedemikian pahit. Hal ini sangat ironi. Hukum dan keadilan menjadi sekedar hiburan bagi rakyat kecil, yang selalu berjerit karena penuh kekecewaan dan kesedihan. Orang-orang kuat sering merasa mereka bisa mengelabui dan memodifikasi hukum, bahkan moralitas. Akibatnya, hukum menjadi tunduk di bawah perintah orang kuat. Hukum telah sering dilumat oleh taring-taring kekuasaan. Hukum dan moralitas memang ada dan hadir, tetapi selalu dianggap tiada. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus peraturan perundang-undangan dan ketetapan dilahirkan hanya untuk dicari-cari sisi lemahnya, agar ditemukan celah dan diperdayai, sehingga mereka lolos dari jeratan hukum.
Sungguh sebuah pencorengan nilai-nilai Pancasila. Mereka yang memperdaya hukum dengan tipu dan jeratnya telah menghancurkan nilai keadilan dan keadaban yang merupakan nilai Pancasila. Masyarakat kehilangan contoh, didikan, teladan, bagaimana hidup dalam keadilan dan keadaban di wilayah Indonesia. Masyarakat seperti diberikan pengajaran hidup layaknya hidup di hutan rimba: tidak ada aturan, yang kuat yang berkuasa, yang lemah terus menerus ditindas. Kita terlihat hormat dan patuh terhadap norma-norma hukum, tetapi sesungguhnya, kita justru melukainya dan melalui logika kekuasaan, mengkhianati nilai-nilai keadilan.
Keadilan sudah dibelokkan menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati seperti yang dicerminkan dalam Pancasila adalah barang klasik yang amat langka di negeri ini. Negeri Indonesia hampir kehilangan suara hatinya sebab sudah dihancurleburkan oleh realitas yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat.
* Penulis adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
BACA JUGA