SEMA LARANG KABULKAN PENCATATAN NIKAH ANTAR UMAT BERBEDA AGAMA INKONSTITUSIONAL

 

PETRUS SELESTINUS
Koordinator  TPDI & Advokat Perekat Nusantara

 

SURAT Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Berbeda Agama dan Kepercayaan, yang pada intinya “melarang” Hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beda agama dan kepercayaan, jelas sebagai bertentangan dengan konstitusi, terutama prinsip Bhineka Tunggal Ika dan kebebasan memeluk agama.
Apapun dasar pertimbangan MA menerbitkan SEMA No.2 Tahun 2023, namun karena dalam UU Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, SEMA tidak berstatus sebagai Peraturan Perundang-Undangan, maka SEMA itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Padahal semua persoalan yang bersifat mengatur Pengadilan atau Hakim dalam proses peradilan, baik mengenai tata cara beracara maupun ketentuan yang bersifat materiil dalam pelaksanaan kekuasaan Kehakiman termasuk Hakim diatur untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama dan kepercayaan, ini harus dengan UU atau PERMA dan tidak boleh bertentangan dengan UU atau UUD 1945.
Oleh karena itu SEMA No.2 tahun 2023, “inkostitusional”, karena bertentangan dengan konstitusionalitas jaminan  pasal 29 UUD 1945, yaitu negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

SEMA KONTRA UUD ’45

SEMA No.: 2 Tahun 2023 itu jelas menegasikan ketentuan pasal 24, kekuasaan kehakiman yang merdeka, pasal 28A dan 28B tentang hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya; dan berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan; dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tentang jaminan kemerdekaan memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.

Jaminan di dalam konstitusi itu diatur lebih lanjut di dalam pasal 34 dan 35 huruf a Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Selain daripada itu, soal larangan kepada Hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama dan kepercayaan tidak boleh dengan SEMA, tetapi harus dengan UU atau setidak-tidaknya dengan PERMA itupun tidak boleh bertentangan dengan UUD ’45, agar mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Dengan demikian SEMA No.2 Tahun 2023 dimaksud adalah inkostitisional, karena telah mengekang kebebasan orang untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama dan kepercayaan dan mengekang kemerdekaan dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, apalagi hanya dengan SEMA, apakah Ketua MA sedang main-main dengan soal yang sesensitif ini.

KEBIRI KEBEBASAN HAKIM.

Padahal Ketua Mahkamah Agung RI seharusnya tahu bahwa UU Kekuasaan Kehakiman melarang segala campur tangan dalam kekuasaan dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU Kekuasaan Kehakiman.
Dengan SEMA No.2 Tahun 2023, semakin memperburuk wajah Mahkamah Agung yang sudah bopeng akibat praktek Mafia Hukum dan Peradilan.
Selain daripada itu, SEMA No.2 tahun 2023, meskipun tidak mempunyai arti secara yuridis terutama bagi Hakim-Hakim, namun secara sosiologis dan psichologis memperlihatkan betapa Ketua MA mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif, apalagi selama ini Pengadilan sudah mengabulkan Pencatatan Perkawinan antar umat berbeda agama.
SEMA ini tidak sejalan dengan falsafah negara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ia bukan hanya berdampak sebagai teror terhadap Hakim-Hakim dalam menegakan prinsip kebebasan Hakim, tetapi juga mengkerdilkan Hakim-Hakim untuk berinovasi, hakim-hakim lebih takut kepada seorang Ketua MA dari pada UU atau UUD 45, sehingga banyak Hakim kita menjadi kerdil, hanya mau tunduk kepada apa maunya Ketua MA.

Banyak Hakim Indonesia yang pintar dan hebat tetapi tidak berani muncul dan menyampaikan pikirannya ke publik sebagaimana Hakim-Hakim Orde Baru yang berani berdebat dan berbeda pendapat dengan masyarakat, politisi, DPR dan Advokat, ketika ada persoalan hukum yang mengemuka ke publik. Sebagai contoh adalah Hakim-Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dahulu, seperti : John Z. Loudu, SH, Bismar Siregar, SH., Heru Gunawan SH, TM.Abdullah SH dll. di era Orde Baru. (*/GK)

Tinggalkan Komentar