Semangat HUT ke 42 Perpusnas dan Harbuknas, Wujudkan Generasi Literasi
Oleh : Dr. Kasrani Latief, M.Pd *
SETIAP tanggal 17 Mei kita peringati sebagai Hari Buku Nasional. Ini sebagai pengingat prioritas pemerintah untuk mengentaskan masalah rendahnya budaya literasi hingga tuntas.
Kita mungkin tidak terlalu mendengar gaungnya, mungkin hanya berseliweran di linimasa media sosial kita. Pencetlah opsi Like, kadang pula Share, sebagai bentuk cara merayakan yang paling sederhana. Tapi, apakah kita benar-benar merayakannya? Tentu saja dengan membaca buku, atau paling tidak membaca artikel-artikel “berguna” yang berseliweran di dunia maya.
Hari Buku Nasional merupakan sebuah perayaan untuk memperingati pentingnya budaya membaca. Setiap tahunnya, perayaan ini diperingati tepat pada 17 Mei. Peringatan Hari Buku Nasional (Harbuknas) telah dimulai sejak 2002.
Menteri Pendidikan kala itu, Abdul Malik Fadjar, adalah orang yang pertama kali mencetuskan hari peringatan tersebut. Tanggal 17 Mei dipilih dengan dasar yang jelas.
Penetapan Harbuknas kala itu didasarkan dengan momentum hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980. Dalam pengesahan Hari Buku Nasional itu banyak dari elemen masyarakat, khususnya kelompok pecinta buku yang mendorong terbentuknya hari peringatan tersebut.
Bukan tanpa alasan, penetapan itu memiliki tujuan utama yakni diharapkan dapat menumbuhkan budaya atau meningkatkan minat membaca dan menulis (budaya literasi ) dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah.
Berbagai hasil survey dan penelitian telah membuktikan hal tersebut, semisal survey dari UNESCO pada tahun 2011. Survey itu menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat di Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Artinya, dari 1000 penduduk, hanya ada satu orang saja yang memiliki keinginan untuk membaca buku.
Sementara pada hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA), disebutkan bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia berada di urutan ke 64 dari 65 negara yang diteliti. Dalam penelitian yang sama pula, PISA menunjukkan hasil dari minat baca siswa Indonesia yang ditempatkan pada urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti.
Bahkan pada sebuah survei penelitian yang dirilis oleh Most Literate Nations pada Maret 2016 silam terkait pemeringkatan literasi internasional, Indonesia menempati urutan kedua terbawah dari total 61 negara yang diteliti. Rendahnya budaya literasi di Indonesia tentu telah menjadi tantangan tersendiri yang perlu disikapi dari tahun ke tahun.
Dari perhitungan yang dilakukan Ikatan Penerbit Indonesia, pada tahun 2014 tercatat ada lebih dari 30 ribu buku yang terbit. Hal itu berimbas pada perbandingan literasi antara 1:3 hingga 1:5 (satu buku dibaca hanya oleh lima orang, dan seterusnya). Jelas agaknya berbanding terbalik. Lucya Adam, ketua IKAPI, pernah mengatakan bahwa di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku.
Selain itu, genre buku yang dibaca oleh orang-orang Indonesia tidak bervariasi. Contohlah komik yang punya pangsa pasarnya sendiri. Kemudian ada teenlit yang menyasar kalangan anak-anak muda. Serta bacaan-bacaan pop yang akan selalu punya tempat di hati para penggemarnya. Bandingkan dengan buku-buku “serius” seperti buku bertema sejarah, filsafat, pengetahuan umum, dan lain-lain. Dibeli oleh orang-orang yang butuh saja, contohlah mahasiswa-mahasiswa dari jurusan dan program studi yang mewajibkan mereka untuk membeli buku-buku tersebut untuk menunjang aktivitas keilmuan mereka di kampus masing-masing. Jarang ada yang mau “mengambil resiko” membeli buku yang bukan karena suruhan dosen. Dan, jika buku tersebut dibeli apakah akan dibaca setiap saat? Belum lagi kita berbicara mengenai buku-buku yang jarang dilirik oleh para pengunjung toko-toko buku seperti yang berjenis sastra.
Kita sering mendengar keluhan di masyarakat bahwa harga buku sangatlah mahal, berat pula. Kasihan punggung mahasiswa yang setiap hari membawa beban di tas dan di kepala, belum lagi jika di tangan berisi beberapa buku karena tas tak cukup. Harga buku yang mahal mungkin kurang manusiawi, apalagi untuk orang-orang haus regukan ilmu tapi berkantong cekak.
Harapan kita kedepan adalah para penerbit berpikir mengenai kewajiban kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas semua orang? Dan, yang bisa dilakukan oleh penerbit tentu saja dengan menerbitkan buku-buku murah, dan untuk buku-buku mahal harga buku bisa dikurangi sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Permasalahan lain yang muncul sekarang ini berkaitan pengembangan Budaya Baca dengan peneribitan Buku adalah internet ini menjadi perenungan kita bersama saat memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas). Tujuan peringatan Harbuknas antara lain untuk memacu minat baca masyarakat Indonesia sekaligus menaikkan penjualan buku. Namun, tujuan memacu minat baca buku memperoleh tantangan dari kemudahan internet. Pasalnya, aktivitas berinternet menenggelamkan minat baca buku tersebut. Banyak yang berpikiran demikian: daripada baca buku, mending berinternet.
Awal tahun 2021 ini, pengguna internet di negeri kita sudah mencapai 202,6 juta jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Angka itu dimuat dalam laporan yang dirilis HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk ”Digital 2021”.
Masih di laporan yang sama, pengguna internet di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk berselancar di internet. Aktivitas yang paling digemari adalah bermedia sosial. Saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial.
Apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan minat baca di era Internet ini? Kita harus memamfaatkan teknologi untuk meningkatkan minat baca dengan cara menyiapkan Perpustakaan Digital di Perpustakaan-Perpustakaan yang ada baik di Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan Desa, Perpustakaan Sekolah, dan Perpustakaan lainnya termasuk di Taman Bacaan Masyarakat.
Dalam pengembangan Budaya Baca di Sekolah, Pemerintah sendiri terus berusaha mengatasi permasalahan tersebut melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan. Pada tahun 2015, pemerintah mencanangkan sebuah program dengan mempromosikan Gerakan Literasi Bangsa (GLB). Gerakan ini tercantum dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Dalam Permendikbut itu disebutkan bahwa GLB memiliki tujuan untuk dapat menumbuhkan budi pekerti anak melalui budaya membaca dan menulis (literasi). GLB sendiri mengambil model penumbuhan budi pekerti dengan cara seperti menganjurkan setiap siswa untuk membaca selama lima belas menit setiap hari sebelum pelajaran dimulai.
Cara seperti ini diharapkan kedepannya dapat menimbulkan kebiasaan yang positif bagi siswa terutama dalam meningkatkan minat baca dan tulis (literasi). Gerakan ini kemudian dikenal dengan Gerakan Literasi Nasional, yang di dalamnya terdapat beberapa sub-gerakan seperti Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, Gerakan Literasi Masyarakat, dan Gerakan Satu Guru Satu Buku.
Sebagai penutup, sudah seharusnya kita membudayakan membaca. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi menjadi tugas kita bersama. Dalam agama Islam, perintah Tuhan paling pertama kepada nabi terakhir adalah “bacalah!”. Bahkan Tuhan pun menginginkan kita untuk membuka lembar demi lembar buku, meresapi isinya, mereguk ilmunya, dan memahat apa yang kita dapat di dalam benak kita. Membacalah, tak peduli siapa penulisnya atau apa jenis bukunya. Membacalah, sebab buku adalah guru bijak yang bertutur dalam diam.
Selamat Hari Buku Nasional dan Hari Jadi ke 42 Perpusnas Tahun 2022, Dengan Semangat Hari Buku dan Hari Jadi Perpusnas kita wujudkan Generasi Literasi di Indonesia umumnya dan khususnya di Kabupaten Paser menuju Paser MAS (Maju, Adil dan Sejahtera)
Penulis adalah Ketua GPMB Kabupaten Paser
BACA JUGA