Seruan Pers: Media Harus Menjadi Benteng Terakhir Melawan Oligarki dan Menjaga Demokrasi
Gerbangkaltim.com, JAKARTA,— Demokrasi kita berada dalam ancaman serius. Tanda-tanda ini semakin jelas terlihat dari dinamika politik terkini, di mana kekuasaan yang ada berusaha merongrong konstitusi demi kepentingan pragmatis.
Elite kekuasaan tanpa rasa malu telah menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi yang baru saja diterbitkan. Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik, serta Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat usia pencalonan kepala daerah harus dipenuhi pada saat pendaftaran.
Upaya penganuliran ini dipertontonkan secara terang-terangan melalui proses legislasi kilat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada, yang jelas-jelas tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Tindakan ini menimbulkan kecurigaan akan adanya agenda tersembunyi di balik revisi UU Pilkada, sehingga masa depan konstitusi dan demokrasi kita menjadi tanda tanya besar.
Penyimpangan kekuasaan dalam proses legislasi bukanlah hal baru. Sebelumnya, beberapa regulasi penting seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, dan UU Ibu Kota Negara (IKN) juga dipaksakan untuk disahkan tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai. Sementara itu, banyak RUU yang lebih mendesak, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan Perlindungan Data Pribadi, justru diabaikan.
Dalam situasi seperti ini, peran pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi tidak boleh melemah terhadap upaya-upaya kekuasaan yang ingin melemahkan demokrasi. Jika putusan MK saja bisa dianulir dengan begitu mudahnya, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi juga akan dicabut perlahan-lahan, membawa kita kembali ke era kegelapan. Upaya semacam ini pernah dicoba melalui rencana revisi undang-undang penyiaran yang isinya justru memberi ruang lebih besar bagi kontrol negara terhadap isi siaran.
Dalam kondisi politik yang kacau seperti sekarang, pers profesional seharusnya berani melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah demi menjaga masa depan kebebasan dan demokrasi. Meski rezim Jokowi tidak membredel media, banyak praktik yang dilakukan justru mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi. Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus meningkat, represi terhadap kritik di ranah digital, hingga upaya “membeli” ruang redaksi untuk membangun citra positif terhadap kebijakan kontroversial yang ditentang publik, adalah contoh nyata ancaman ini.
Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan dan menyerukan:
- Demokrasi kita berada dalam ancaman, dan pers wajib membelanya.
- Mengingatkan media dan jurnalis untuk tetap independen dan profesional dalam menyampaikan kebenaran serta tidak takut untuk menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan terverifikasi, serta tidak mudah diintervensi.
- Di tengah situasi politik yang kacau ini, kami mengingatkan pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistik mereka demi melaporkan informasi kepada publik.
- Mendesak pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara, tanpa melakukan represi terhadap pendapat dan kritik di berbagai saluran, termasuk ruang digital.
Jakarta, 22 Agustus 2024
KOALISI LINTAS ORGANISASI PERS (sesuai abjad):
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
- Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
- Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ)
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya
- Pewarta Foto Indonesia (PFI)
- Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
BACA JUGA