SINYAL POLITIK KETAKUTAN DAN POLITIK HARAPAN
Oleh : Pahriansyah*
Hasil putusan MK terkait sistem pemilu (pemilihan umum) 2024 akan tetap dilaksanakan secara proporsional terbuka. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya gugatan terkait sistem pemilu dengan nomor perkara 114/PPUU-XX/2022 itu didaftarakan oleh 6 orang pada 14 November 2022 lalu. Dengan harapan MK mengembalikan kesistem proporsional tertutup. Setelah wacana usulan tiga periode masa jabatan Presiden mengalami kebuntuan.
Hal ini memunculkan beragam respon publik. Tidak hanya sesama politisi, akademisi, pengamat politik bahkan merambah sampai kelapisan masyarakat awam yang meragukan akan kredibilatas MK sebagai penjaga gawang konstitusi. Karena adanya hubungan kekeluargaan antara pejabat negara. Namun demikian dugaan spekulatif tersebut terjawab sudah dengan adanya putusan MK yang dirilis kepublik.
Perlu kiranya untuk diketahui secara umum sistem pemilu di dunia ada tiga sistem diantaranya ialah pertama sistem pemilu pluralitas/mayoritas/distrik, kedua sistem pemilu proporsional, dan ketiga sistem pemilu campuran atau gabungan sistem pluralitas dan proporsional.
Di Indonesia sendiri sistem pemilihan umum yang diterapkan adalah sistem pemilu proporsional. Sistem proporsioanal dibagi dua macam sistem yaitu sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem pemilu proporsional tertutup. Dimana keduanya pernah diberlakukan di Indonesia.
Ambisi Kuasa
Tanpa bermaksud menabur benih pesimisme, perlulah disadari bahwa bangsa ini mengalami krisis lahir dan batin (kemerosotan nalar dan moral). Berbagai masalah dan sengkarut negara yang begitu nyata dipertontonkan. Dengan analisis politik yang membatasai perhatian pada lembaga-lembaga politik formal serta pada katalogalisasi peristiwa politik sehari-hari, nyaris tak ada kisah yang bisa membangkitkan harapan.
Partai politik yang diharapkan menjadi wadah persemaian intelektual organik yang mampu mengorganisasikan dan mengartikulasikan amanat hati-nurani rakyat, berhenti sebagai pusat pencaloan dan tukar tambah kekuasaan. Begitupun oposisi telah bertransformasi menjadi kualisi dengan adagium “merajut persatuan”. Padahal demokrasi tanpa oposisi merupakan demokrasi kuburan. Sunyi, sepi tanpa kritik, tanpa alternatif, dan tanpa kehidupan.
Demokrasi seolah mengalami proses daur ulang dari fase sebelumnya sebagaimana lima macam krisis yang pernah ditengarai oleh pernyataan Bung Karno pada tahun 1952 yakni pertama krisis politik yang membuat orang tak pecaya lagi pada demokrasi. Kedua krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga kiris cara berfikir dan cara meninjau. Keempat kiris moral. Kelima krisis gejag (kewibawaan otoritas). Kelima macam krisis tersebut tak ada yang luput dari kondisi bangsa kita hari ini.
Upaya saling menyandera antara elit politik, menjegal lawan politik dengan pengerahan buzzer terkait isu primordial agar tercipta polarisasi, dan membegal struktur kepengurusan parpol serta menjadikannya dualisme. Ini semua dilakukan tanpa tedeng aling-aling demi menjaga keberlangsungan politik dinasti. Cara ini merupakan “okestra” dari politik ketakutan. Diperparah dengan adanya niatan untuk cawe-cawe yang diungkapkan secara terang-terangan oleh pemimpin negeri ini. Apakah ini tidak termasuk menggunakan alat-alat kekuasaan negara agar memuluskan ambisi kuasa?!
Padahal dalam demokrasi kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Tapi kedaulatan tersebut telah dibajak oleh para demagog hanya untuk melanggengkan kekuasaan kelompok mereka. Karenanya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih mencari jalannya sendiri hingga kini. Oleh sebab ketidak pastian para penegak hukum dalam mewujudkan rasa keadilan begitu juga lembaga-lembaga negara lainnya saling lempar tanggungjawab dan tumpang tindih kebijakan bila menyangkut urusan publik.
Bukankah suara kearifan Agus Salim sering mengingatkan bahwa “Memimpin adalah menderita” (Leiden is lijden). Demikian pula jendral Soedirman berpesan “jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
Pancaran kearifan suara pendiri bangsa perlahan hilang oleh bisingnya suara elit politik transaksional yang oportunis. Kasak-kusuk di bawah panggung politik saling memperebutkan remah-remah kekuasaan. Keyakinan luhur pendiri bangasa berubah menjadi kredo “Memimpin adalah menikmati” oleh poli-tikus ulta-pragmatis.
Hasrat berkuasa membuat takut hilangnya kedudukan dan kehormatan, sehingga memburu kekuasaan menjadi prioritas utama bagi gerombolan poli-tikus. Tujuannya selain dapat memberikan rasa aman dan juga jauh dari jerat hukum terhadap kasus-kasus yang selama ini mengendap. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan politik dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.
Benar kata George Bernard Shaw, “Title/jabatan memberikan kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.”
Merawat Optimisme
Perhelatan pemilihan umum 2024 merupakan momen untuk menyemai harapan baru oleh segenap anak bangsa dinegeri ini. Hadirnya calon pemimpin baik ditingkat pusat ataupun daerah diranah eksekutif maupun legislatif bukanlah fatamorgana semu akan tetapi sebagai oasis yang akan meredahkan dahaga akan perubahan. Sebagaimana Lao Tzu memberi iktibar; kedatangan pemimpin alamiah sejati menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak.
Selaras dengan lintasan sejarah bangsa ini. Warisan terbaik yang ditinggalkan oleh pendiri bangasa ialah ‘politik harapan’ (politics of hope), bukan ‘politik ketakutan’ (politics of fear).
Tumbuhnya harapan medorong partisipasi politik rakyat untuk terlibat secara masif, energik, dan kreatif. Gerak kesukarelaan bangkit dengan penuh kesadaran tanpa menunggu instruksi- mobilisasi dan pamrih. Simpul relawan bergerak-serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian.
Harapan masyarakat akan perubahan selayaknya disambut oleh para kandidat pemimpin dengan suka cita, bahwa mereka mampu untuk menyakinkan dan menunaikan janji politiknya terhadap rakyat bukan hanya sekedar iming-iming serta polesan pencitraan yang sudah usang.
Para kandidat pemimpin dapat mengubah kecemasan yang selama ini menjadi harapan yang akan segera terwujud. Bersungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan perbedaan dengan merealisasikan negara kekeluargaan yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Juga berupaya mejembatani kesenjangan sosial dan mengembangkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.
Kesadaran akan pencapaian jabatan politik lebih dari sekedar pencapaian karir pribadi oleh para kandidat pemimpin, tetapi juga mengemban pencapaian kepentingan secara kolektif. Dimana pertaruhannya adalah muruah dan harga diri bangsa.
Kandidat pemimpin harus menyadari sepenuhnya akan pentingnya merawat harapan dan optimisme seraya mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan bangsa secara institusional. Kekuasaan digunakan untuk merealisasikan kebijakan bersama.
Menilik ulasan Profesor Thomas Meyer tentang empat musuh demokrasi yang tentu saja akan dihadapi oleh siapapun pemimpin terpilih. Keempat musuh demokrasi tersebut adalah feodalisme, neoliberalisme, teknokratisme, dan fundamentalisme yang mana sama-sama mengabaikan partisipasi publik.
Tidak hanya feodalisme atau neofeodalisme menjadi musuh bagi demokrasi, melainkan juga berbagai bentuk sistem privilese, KKN, dan etnosetrisme dalam politik yang melecehkan prinsip kesamaan di depan hukum yang selama ini terjadi secara berulang. Sedangkan neoliberalisme membiarkan modal lebih berkuasa daripada politik, sehingga ruang publik dibeli oleh kekuatan-kekuatan ekonomis yang ingin mempertahankan pelaksaan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Adapun teknokratisme tampak dalam pengambilan keputusan tanpa mengindahkan kepentingan-kepentingan sosial yang lain. Demikian pula fundamentalisme agama terjadi jika pandangan tentang hidup baik dari satu kelompok dipaksakan untuk seluruh masyarakat.
Pemimpin selanjutnya seyogiyanya dapat meneduhkan dan menyejukkan seluruh lapisan masyarakat, imbas dari paparan musuh demokrasi yang kerap digunakan sebagai “alat” politik oleh gerombolan demagog.
Bagaimanapun partisipasi demokratis tak bisa dilepaskan dari figur pemimpin yang tidak hanya cakap beretorika dalam menguraikan ide gagasannya yang visioner tapi sanggup mengejawantahkan dalam gerak perubahan sosial sesuai dengan rekam jejaknya yang sudah teruji.
Partisipasi demokratis tidak hanya mengandalkan sosok pemimpin yang sibuk dengan pencitraan dan penampilan yang kesannya merakyat ditambah dengan gaya blusukan. Sementara kebijakanya justru tidak berpihak sepenuhnya kepada rakyat melainkan pada investor dan pemilik modal.
Hal ini menyebabkan birokrasi negara dalam kontrol uang dan kuasa. Oleh karenanya hal tersebut sangat merusak sistem demokrasi dan meracuni etos demokrasi.
Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, menuturkan; untuk merelaisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisisme menuju pemimpin publik yang sadar.
Politik harapan akan membendung jagat politik yang dibanjiri politikus-tukang dan para demagog. Serta mencegah kelangkaan negarawan-cendikiawan. Sehingga meritokrasi tidak lagi didarahi oleh mediokrasi yang dapat melumpuhkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian nasional.
*Penulis Merupakan Guru dilingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda
BACA JUGA