STAFSUS BPIP: WASPADA DEMAGOG DI POLITIK INDONESIA

 

Jakarta-GERBANGKALTIM.COM- Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyatakan bahwa warga negara Indonesia harus benar-benar mewaspadai ‘demagog’ di perpolitikan Indonesia.

Hal itu dia sampaikan menyusul pernyataan Presiden RI, Joko Widodo, yang menyebut bahwa sopan santun dan budi pekerti luhur mulai hilang seiring banyaknya ujaran kebencian yang sering muncul ke permukaan, baik di media surat kabar, elektronik, ataupun sosial, di Sidang Tahunan MPR-RI, Rabu (16/08/2023).
Dalam pidatonya, Jokowi, sapaan akrab Presiden ke-7 RI tersebut, menyatakan bahwa banyak julukan-julukan yang dilontarkan kepadanya sebagai bentuk kritikan.
“Sebagai pribadi, saya menerima saja. Tapi yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini kelihatannya mulai hilang. Kebebasan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kebencian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia,” tuturnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa apa yang Jokowi katakan harusnya menjadi alarm bagi bangsa Indonesia.
“Pernyataan itu seharusnya menjadi kesadaran etis bagi kita, yang memiliki ideologi Pancasila, yang mengutamakan nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Siapapun yang melukai manusia, dia melukai Tuhan. Habituasi bangsa Indonesia harusnya adalah Pancasila, dan Pancasila mengajarkan budi pekerti serta kesopanan,” jabarnya.
“Sekarang, yang menjadi pertanyaan,” lanjut Benny, “apakah orang bebas berekspresi tanpa adanya etika? Apakah ruang bebas untuk berkritik tidak seimbang dengan kesopanan dan budi pekerti, dan apakah nilai demokrasi tunduk pada nilai publik? Jangan sampai demokrasi dimanipulasi dengan diksi bahasa, yang sebenarnya semua itu sekedar alat memuaskan kepentingan dan merebut kekuasaan.”
Pakar komunikasi politik tersebut melanjutkan bahwa bahasa bisa jadi sebuah alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan penggunanya.
“Bahasa itu tidak netral, apalagi bahasa politik. Bahasa politik merupakan bahasa hegemoni. Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan, tidak hanya mengatur masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok-kelompok dominan,” jelasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini pun memberikan sebuah istilah: demagog.
“Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya.”
Benny menyatakan, fenomena demagog ini terjadi di Indonesia.
“Semakin marak kritik tidak memberikan kecerdasan bangsa, malah menjadi sumber kehancuran martabat kemanusiaan. Ada bahaya yang mengancam, ketika para demagog beraksi. Argumennya disebut sebagai kebebasan demokrasi, tetapi sebenarnya membajak demokrasi. Masyarakat harus sadar kritikus seharusnya jauh dari kepentingan politik dan netral. Jika tidak netral, kritik-kritiknya seharusnya diperhatikan: benar sebuah kritik yang membangun, atau upaya mengatur masyarakat lewat bahasa?”
“Kritik itu seharusnya meluruskan arah kebijakan, memberikan solusi, dan penyampainya harusnya berjarak pada kekuasaan ataupun kepentingan politik. Kritik jangan untuk merebut kekuasaan; hilang demokrasi saat itu,” serunya.
Budayawan itu mewanti masyarakat untuk tidak mendukung cara-cara dengan bahasa politik yang bertujuan mendapatkan kekuasaan dan berkepentingan politik.
“Harus diperhatikan, kritik itu tidak menyerang pribadi, seperti memberi julukan-julukan tertentu yang bersifat degradasi; kritik harus kepada kebijakannya, dan berdasarkan kajian, fakta, data, dan solusi yang konkret, sehingga akhirnya terjadi adu argumen. Demokrasi itu intinya adu argumen; masyarakat melihat dan memilih, kemudian, argumen dan solusi mana yang dinilai membawa kepada kesejahteraan, dan bernilai Pancasila,” katanya.
Benny pun menutup dengan sebuah seruan.
“Waspada demagog, yang memanipulasi masyarakat memakai kritik, padahal memiliki agenda kepentingan politik dan kekuasaan yang tersembunyi.” (*/gk)

Tinggalkan Komentar