Tak Mudah!, Keadilan Subtantif Berhati Nurani Jelang Hari Bhakti Adyaksa Belum ‘Merakyat’

Tana Paser, ‘Merakyat’ identik dekat dengan rakyat ataupun bisa dipersepsikan menurut norma konstitusi menjalankan kepentingan rakyat diatas dari kepentingan pribadi ataupun golongan (ekslusif).

Dalam hal ini, Kejaksaan Agung memiliki peran dan fungsi strategis mengawal demokrasi NKRI dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian secara inklusif (bukan pribadi ataupun golongan).

Kala ini, dilansir dari berbagai sumber, persoalan politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya selalu mewarnai pemberitaan media massa.

Menariknya, menjelang perhelatan politik pemilu 2024, issue krusial terkait kebijakan politik, politik hukum dan politik ekonomi di lintas struktural petinggi negeri sampai ke kultural pelosok negeri kian ramai diperbincangkan dan cenderung menimbulkan kegaduhan serta terkesan ‘blunder’ politik menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Issue krusial tahun ini, dari IKN Nusantara, penundaan pemilu dan tiga periode, revisi UU-PPP dan RUU-KUHP di saat naiknya harga barang-barang pokok, barang hasil pertanian, barang produk kebutuhan pertanian, tarif listrik serta BBM menambah ‘jerit’ dan ‘tangis’ sebahagian besar rakyat Indonesia penuhi kebutuhan hidupnya.

Lagi diuji, sinergi dan kolaborasi lintas struktural unsur pemerintah dihadapkan peliknya beragam persoalan yang menimpa rakyat, peran serta strategis lintas struktural kala ini sangat dibutuhkan, termasuk korps ‘Adyaksa’ atau lebih familiar dikenal dengan Kejaksaan.

Mampukah Kejaksaan Agung?, melalui perpanjangan tangannya di Kejaksaan Tinggi Kaltim ataupun khususnya di Kejaksaan Negeri Paser ikut mengurai beragam persoalan rakyat agar korps ‘Adyaksa’ dapat dipersepsikan publik ‘merakyat’ karena ikut menyelesaikan beragam persoalan rakyat.

Muchtar Amar, SH selaku Pemerhati Politik dan Hukum (PATIH) di Tana Paser melalui keterangannya di Medan, Kejaksaan Agung semestinya melakukan politik ‘rakyat’ ataupun politik ‘negara’ yang ‘merakyat’ sesuai norma konstitusi.

Kepada awak media Minggu 17/07/2022, ia menuturkan “kejaksaan sebagai bagian dari lembaga negara di bidang ‘Yudikatif’ turut mengawal kepentingan rakyat diatas dari kepentingan pribadi ataupun golongan (ekslusif) para mafia yang rugikan rakyat, itu sesuai norma konstitusi dalam politik ‘negara’ yang merakyat”.

Mengapa?, “rakyat telah memberikan mandat kepada presiden terpilih, kan Kajagung diangkat oleh presiden, otomatis pak Sanitiar Burhanuddin telah dapat mandat dari rakyat, jadi mengapa belum juga tuntaskan persoalan yang picu kesusahan rakyat?”, singgungnya.

Peran Kejaksaan tidak lagi hanya dalam ruang lingkup penuntutan di meja hijau dan Restorative Justice, akan tetapi upaya preventif untuk cegah persoalan seperti mahal dan langkanya minyak goreng, BBM-Subsidi yang diecer, murahnya TBS sawit dibeli oleh pabrik serta sistem distrubusi BBM-Subsidi belum ‘merakyat’ yang kerap terjadi diduga oleh para mafia kala ini.

“Keadilan Subtantif berhati nurani yang di gagas Kajagung belum maksimal dilaksanakan jajarannya, mengapa?, ketika para mafia dengan mudah beraksi sampai ke daerah, diduga pasti ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pihak terkait, itu kan bagian tugas Kejaksaan, tolong ditindak tegas atau dicopot saja jika tak mampu”, tegas dia.

Lanjut dia, “harus rel ganda dalam melaksanakan Keadilan Subtantif, rel Keadilan Prosedural meski bersamaan juga dilaksanakan berhati nurani, secara subtansial kinerja seharusnya pak Kajari tau persoalan di wilayah kerjanya, tolong ikut bantu rakyat urai persoalan”, pintanya.

Kekinian, evaluasi Keadilan Subtantif dan Keadilan Prosedural meski dilaksanakan konfrehensif bersamaan, agar mendapatkan kepercayaan publik dalam momentum HUT ke-62 tahun korps ‘Adyaksa’, jangan akhirnya rakyat berupaya sendiri rengkuh Keadilan Prosedural yang secara Keadilan Subtansial diemban pemerintah, kekacauan menanti.

“subtansi penyalahgunaan kewenangan itu kan luas sebagai norma hukum, terlebih yang dirugikan bukan hanya rakyat, tetapi negara, karena picu rendahnya daya beli, sehingga potensi penerimaan negara ikut hilang atas jual beli, jadi jangan terlalu kaku dan normatif”, sambung dia.

Tinggalkan Komentar